Mohon tunggu...
Ryan A. Syakur
Ryan A. Syakur Mohon Tunggu... Pekerja Sosial -

Seorang lelaki penyesap kopi pahit

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Digimon

20 Maret 2018   21:02 Diperbarui: 20 Maret 2018   22:05 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Digimon? Digital Monster? Oh bukan. Bukan itu maksudnya. Digimon di sini bukan berarti makhluk digital kreasi Akiyoshi Hongo. Namun, artinya Digigit Monyet. Jeng jeng jeng.

Siapa yang pernah berwisata ke Mandala Wisata Wenara Wana atau Hutan Monyet Ubud (Ubud Monkey Forest)? Kalau ke Talaga Warna di Puncak, Jawa Barat? Gimana kalau Taman Wisata Alam Grojogan Sewu di Tamangmangu, Kab. Karanganyar? Nah, itu adalah salah 3 dari banyak lokasi wisata alam ajib di Indonesia yang juga merupakan habitat dari saudara lama kita. Monyet. Jadi, sambil jalan-jalan bisa deh sekalian menjenguk kerabat yang super lincah itu.

Saya sudah pernah sowanke tiga tempat tersebut. Belum lama ini main ke Taman Wisata Alam Grojogan Sewu, bersama dua orang kawan kantor Kak Heny dan Kak Dewi. Taman Wisata ini rumahnya monyet buntut panjang (Macaca fascicularis). Salah satu species primata yang terkenal usil dan cerdas.

Baru saja kami membuka pintu mobil, semilir angin nan sejuk menyapa. Kami langsung jawab dengan senyum pepsodent. Sapaan kedua datang dari monyet penghuni taman wisata ini. Tampak tiga monyet batita makan kacang hasil pemberian yang semena-mena dari pengunjung. Monyet-monyet lainnya bergelayutan di dahan pohon yang menjuntai sampai ke parkiran. Kita parkir persis di depan pintu masuk.

Jujur saya sih sama sekali tidak takut wisata saya terganggu dengan keberadaan monyet-monyet di taman wisata, taman konservasi, dll. Memang tempat mereka ya di sana. Malah kita yang seharusnya tidak mengganggu mereka. Kudu mengucap salam kebatinan dulu lah kalau ke sana.

Saya justru tertarik memperhatikan tingkahnya yang lincah berloncatan pindah-pindah dahan. Berkejaran antar sesamanya. Bahkan saya pernah melihat mereka saling mencari kutu. Berbagi makanan. Menggendong bayinya. Oh my god, so sweet!

Kemudian masuklah manusia, si monster perusak alam. Kita kita ini yang merasa lebih beradab dari monyet malah mengusik keberadaan mereka di rumah mereka sendiri. Ingat, rumah mereka. Ketika kita main ke hutan, taman konservasi alam atau apapun namanya, kita adalah tamu bagi penghuni alam di sana. Salah satunya monyet. Tapi apa yang kita lakukan? Seolah mau menunjukkan rasa sayang, kita malah memberi kacang, buah-buahan, makanan bermecin tinggi atau apalah apalah ke mereka. Bagi saya ini justru merendahkan naluri monyet untuk mencari makan di rumahnya sendiri.

Kebiasaan buruk kita ngasih makanan ke monyet ini tentunya ada akibatnya. Monyet-monyet di habitatnya yang terbiasa dikasih makanan oleh manusia, pasti akan minta lagi. Makanya, sekali kita sudah melempar kacang ke mereka, ia akan balik lagi untuk minta makanan selanjutnya. Sangat logis. Kemudian, kita malah enggak terima. Monyet-monyet itu malah kita usir dengan kasar. Malah tak jarang dengan cara kekerasan.

Digigit Monyet

Selama perjalanan menapaki anak tangga menuju air terjun, lagi-lagi kami disapa oleh kawanan monyet buntut panjang. Mereka saling bercengkerama dalam damai. Melihat monyet yang berjarak sangat dekat dengan kami, Kak Dewi merasa ketakutan. Ingatannya terbang mundur pada peristiwa puluhan tahun lalu, saat ia masih kecil. Kakinya pernah digigit monyet (digimon) tetangganya. Ia segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Kini, bekas jahitan di kaki menjadi penanda, ia punya kenangan yang tak asyik dengan monyet.

Ya, obrolan tentang digimon ini jadi trending topic bagi kami bertiga. Masih berlanjut saat kami makan siang di kedai tak jauh dari air terjun.

"Agak ke atas sini Mbak Mas, biar tidak didatangi monyet," begitu kata ibu penjaga kedai.

Karena ternyata di atap kedai pun ada banyak monyet. Mungkin lagi rapat paripurna. Enggak mau kalah dong sama Dewan di Senayan sana.

"Digigit monyet itu ngeri lho. Harus segera ditangani. Kalau enggak bisa rabies." Itu kira-kira ucapan Kak Dewi seinget saya. Setelah saya googling -kena virus milenial nih, dikit dikit tanya mbah google - ternyata benar lho digigit monyet itu berpotensi rabies, yang bisa menyebabkan kematian jika tidak dengan cepat ditangani secara medis. Selain rabies, juga berpotensi terjangkit Tuberculosis (TBC) dan Herpes B-Virus.

Obrolan kami tiba tiba terhenti. Pandangan kami terfokus pada tujuan yang sama. Lesehan warung sebelah. Empat orang remaja; dua laki-laki dan dua perempuan lagi kongkow. Seorang remaja melemparkan kacang ke sekawanan monyet. Langsung disambut dan dimakan seketika. Namanya juga monyet.

"Aduh nih orang nyari masalah. Orang yang kayak begini nih belum siap piknik," ucap saya.

Selang lima menit, tiga ekor monyet remaja menghampiri. Mungkin dikiranya mau ikutan kongkow sesama remaja. Ya enggak lah. Monyet-monyet ini minta makanan lagi. Tapi, satu orang laki-laki remaja langsung menghalaunya. Ia acungkan kayu yang ditunjukkan ke sekawanan monyet. Sesekali ia pukul-pukul ke tanah.

"Mas mas... udah udah... Jangan dipukul gitu. Nanti malah ngelawan tuh monyetnya." Kak Heny dan Kak Dewi bersahutan teriak menasihati.

Nasihat itu melayang tinggi ditiup angin Tawangmangu. Si remaja makin serius memukulkan kayu ke tanah. Bahkan saya pikir dia akan tidak segan untuk memukul monyet-monyet yang mendekat.

"Subur... Liat muka saya... Saya tidak takut." Berasa seperti lakon Aria Wiguna vs Eyang Subur, si laki-laki remaja itu makin menunjukkan superioritasnya sebagai manusia. Bukannya takut, monyet-monyet ini malah makin agresif. Naluri melindungi dirinya muncul.

Si laki-laki remaja lengah. Dari belakang yang entah saya juga bingung dari mana asalnya. Tiba-tiba muncul sosok monyet besar. Ia menyerang si laki-laki remaja seketika. Melampiaskan amarahnya. Si remaja meski agak terlambat, langsung otomatis melempar monyet ke arah depan. Sang monyet yang terbanting, masih menyimpan amarah. Si laki-laki remaja sontak menghampirinya setengah mengejar. Kawan-kawannya menahan. Memegang lengannya. Pengunjung di sekitar berlarian mendekat.

Mata saya tertuju pada jaket si laki-laki remaja yang sobek. "Mungkin dicakar itu. Atau malah digigit ya," ucap saya pada Kak Dewi dan Kak Heny.

Si laki-laki remaja masih menunjukkan superioritasnya. Congkak. Ia buka jaket yang sobek. Ah tidak. Darah membasah. Memerahkan kaos putih yang ia kenakan.

"Mas... Mas... Luka itu mas. Cepat segera ke puskesmas terdekat. Harus cepat ditangani itu." Kak Dewi dengan pengalaman digimon-nya memberi saran.

"Ah enggak apa-apa kok," begitu kata si remaja laki-laki sembari senyum-senyum jumawa. Tampak ia sedang akting pada ketiga temannya, kalau dia kuat. Dia malah mengambil ponsel pintarnya. Swafoto punggungnya yang berdarah. Atau mungkin live IG. Ah kidz zaman now!

Melihat kawannya yang khawatir, ia buka kaosnya. Ya Tuhan! Dari kejauhan saya melihat punggung kanannya bukan hanya sobek. Lukanya dalam. Gigitan monyet besar tadi mengakibatkan luka serius padanya. Saya langsung terbayang cerita Kak Dewi. Tentang efek dari digimon. Rabies.

Petugas medis taman wisata datang menolong. Si remaja laki-laki masih akting congkak. Ia tidak menerima satupun saran-saran orang di sekelilingnya untuk segera ditangani secara medis. Ah mungkin ia congkak permanen.

Sambil geleng-geleng kepala kami tinggalkan dia.

Dalam perjalanan, sontak kami teringat.

"Wah gimana kabarnya mas mas yang digimon tadi ya?"

"Semoga dia tidak apa-apa ya."

Waktu beranjak sore. Menuju malam. Matahari bergegas merapikan lapaknya, bertukar shift dengan Bulan. Mobil kami melaju menembus sejuknya Tawangmangu. Menuju pemberhentian selanjutnya.

*Sudah pernah diterbitkan di www.syakurian.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun