Jenazahku
Oleh : Rudi Rusyana (Rosianadinata)
Â
Satu jam sudah ku menanti dia, namun masih tak kelihatan batang hidungnya. "Huh ...kebiasaan kalo dah ngerjain orang," Aku sewot sendiri sambil sesekali melihat jarum jam yang terus melaju tak berhenti seiring detak nadiku berdenyut.
"Neng ...mau kemana?." Tanya kernet bis angkutan luar kota antar propinsi kepadaku. Ayo mau ke Garut, Tasik...bisa duduk kok neng.." kernet itu meyakinkanku agar aku mau naik bisnya. Aku coba menjawab dengan gelengan kepala saja, aku males ngomong, karena sudah hampir dua jam aku berdiri di depan terminal bis Cicaheum Bandung.
Mendung mulai beringsut di langit Bandung Timur, tiupan angin kencang menerpa wajahku, kata Kang Maman wajahku kuning langsat, kamu ayu neng, begitu awal dia menggodaku diawal pertemuan dan masih katanya aku lebih manis karena punya tahi lalat disebelah kiri hidungku...ah kok jadi sombong gini yak...eh lupa, astagfirullah ....kata pa ustadz gak boleh sombong, sebab itu semua karunia dari Allah SWT. Maafkan hamba-Mu ya Allah aku hanya tahadus bi nikmah (mensyukuri nikmatmu). Tak selang beberapa menit, hujan pun turun membasahi kegersangan serta kekumelan kota Bandung yang tadinya panas dan berdebu, semoga menjadi berkah bagi kota Bandung dan seisi masyarakatnya,aamiin.
"Sreeeeet......", "Byaaaaarrrr.....", aku terhenyak dan gelagapan, tanpa komando serasa ada yang mengguyur sekujur tubuhku, dan ....waduuuuh ternyata... Â air itu datangnya dari atas kepalaku...lirik sana, lirik sini...semoga aja gak ada yang liat..., ooww...ternyata semua mata tertuju padaku dan semua merunduk sambil menahan tawa, ku tatap semua mata yang memandangku... dari mulai yang sama-sama sedang berteduh, sampai yang pake motor juga mobil dan huuuh....kesal campur malu...jadi gak karuan, mau marah...marah sama siapa, lawong itu air turun sendiri dari atas terpal kios rokok karena kepenuhan, ya ampuuun...banyaknya maluuu...siiih...iiiih dasar gara-gara kang Maman nih, belum nongol aja."gerutuku kesal.
Wassalam deh...semua baju gamis warna krem muda kesayanganku yang selalu dipadu padankan dengan kerudung merah marun serta tas gandong kulit warna hitam merk Gucci itu, abis deh semua basah, mana isinya tugas-tugas kuliah lagi, bagai orang abis mandi pake shower.
"De...,"sini ada handuk....mari ibu bantu keringin wajahnya, itu juga isi tasnya ayo di keringkan dulu di sini.. ayoo..jangan sungkan"Ajak ibu pemilik kios rokok.
"Iyy...yyaaa..bu makasih banyak, biarin tar juga kering sendiri kok." Jawabku menolak dengan halus.
"Neng...," maaf Akang telat..., abis motor akang mogok, biasa vespa penyakitnya kalo dah hujan gini, suka susah hidup, maklum vespa butut..., maaf ya Neng." ada suara minta maaf dari balik kios rokok tempat aku berdiri.
"Waduh...kenapa ujan-ujanan gitu..,baru datang ya..."dengan entengnya Kang Maman ngomentari aku. Makin males aja aku jawab ocehannya.
"Eh...kang...neng ini dah hampir dua jam lebih lho nunggu akangnya ini, eh akang  yang baru datang malah seenaknya nyangka baru dateng, dikira ujan-ujanan lagi, kayak anak-anak aja...aah akang...akang..." jelas ibu kios rokok membelaku.
Aku malas nengok...padahal aku kenal betul suara siapa itu, abis aku kesal. Bayangin aja sudah hampir dua jam lebih aku menunggu laki-laki yang sebetulnya cukup berwibawa itu, maklum usianya sudah dewasa, denganku terpaut lima tahunan lebih tua, gaya rambutnya yang dibelah dua mirip fotografer kawakan Mas Darwis Riyadi, apalagi dengan memakai kemeja gunung lengan panjang yang selalu dilinting (digulung) sampai sikut, dipadu padankan dengan celana jean warna biru muda yang udah agak dekil, kayaknya dah seminggu gak kenal air, tapi tetap tidak mengurangi ketampanannya, semakin greget lagi dengan kaca mata minus dan kumisnya yang woow...membuat para mahasiswi di kampusku iri melihat aku kalo dah jalan dengan Kang Maman, tapi ya itu tadi, kalau janjian pasti deh aku yang harus menunggu, hmmm....sebel tapi rindu (hihihi).
Setahun sudah aku dekat dengan Kang Maman, dia adalah kakak kelasku di kampus, pertama aku jumpa dengannya gak sengaja sih. Kala itu aku baru keluar dari pesantren dan tengah mencari sekretariat pendaftaran mahasiswa baru (maklum dulu zamannya tahun 90-an datang sendiri daftar kuliah gak kayak sekarang pake sistem online hihihi...).
Kebetulan Kang Maman lagi pada nongkrong bareng temen-temennya, dan dia menghampiriku dan ya gitu deh...dia tawarkan jasa mengantar aku ke tempat pendaftaran mahasiswa baru. Aku sangat lugu waktu itu, karena baru keluar dari pesantren dan so pasti tidak pernah tau bagaimana dunia luar, melulu dari pondokan ke mesjid ke kelas ke kamar mandi begitu dan begitu, makanya wajar kalau aku kelihatan polos dan celingukan.
Awalnya aku mau dianter kakakku, tapi yaah...dia ada kuliah katanya, dan dia bilang dah gede masa dianter-anter segala, sana pergi sendiri biar gaul, kakakku yang satu ini memang nyebelin, gayaknya urakan, kuliahnya aja bayangin pake kaos oblong, celana jean sobek tepat dilututnya dan yang paling bikin malu ibu dan bapaku pake sandal jepit, ditambah dengan rambutnya yang gondrong diiket hmmm... persis seperti mpu yang abis bertapa atau kalo ibuku marah...suka dibilang kayak gelandangan, tapi walau begitu Mas Din orangnya setia, selalu aja dia awasi kemana saja aku pergi, dia bilang walaupun dah gede kamu tetep cewek yang harus aku jaga.
Aku dua bersaudara, bapaku yang turunan Jogja dialih tugaskan untuk menjadi Kepala Statsiun Bandung, makanya aku kuliah di Bandung, sedangkan ibuku memang asli Sunda Batak, karenanya aku namanya Ryanti Margareta Kusumodiharjo, sedangkan kakakku nama panjangnya Salahudin Margareta Kusumodiharjo.
 Ibuku hanya ibu rumah tangga biasa, dulu pernah kerja di Pemerintah Daerah Sumatera Utara, tapi gak dilanjut karena jodoh telah mempertemukan mereka dan akhirnya ibuku diboyong ayahku ke Jogjakarta.
"Kang...terus vespanya sekarang di bengkel?"akhirnya aku mengalah dan mulai membuka pembicaraan, kasian juga Kang Maman, raut mukanya lesu banget, abis dorong vespa tahun 75an dapat beli dari sahabatnya yang itu juga dicicil bayarnya ...hihihi, maklum mahasiswa biaya sendiri.
"Oh...ng...iyyaaa..., ku titip tadi di bengkel aja, biar besok aku datang lagi ke sana." Kang Maman agak terkejut, entah apa yang tengah dilamunkannya. "Kenapa Kang kayak yang kaget, lagi ngelamun apa hayo..., ada cewek cantik ya...tadi di bengkel?" selidikku penasaran sambil tertawa.
"Ayo...neng, hujannya udah reda..., kita langsung aja naik angkutan jurusan Cicaheum-Lembang, biar gak naik beberapa kali. Akhirnya aku ikuti Kang Maman yang ngeloyor keluar dari kios rokok tempat kami berteduh.
"Bu...makasih yaa...udah ikut berteduh di sini,"ucapku berbarengan dengan Kang Maman ke ibu pemilik kios rokok "Iyaaa...Neng...kang sama-sama, ati-ati dijalannya yaaa...". Sahut ibu pemilik kios dengan ramahnya.
Kebetulan di dalam angkutan umum sudah ada beberapa yang duduk lebih dulu, Kang Maman kebagian di tempat duduk dekat pintu masuk angkot, dan aku kebagian di kursi 'artis' (karena jok tambahan yang kecil itu menghadap ke semua penumpang, makanya kayak artis deh diliatin seisi angkot..hihihi..).
Hujan turun lagi, bahkan semakin deras saja, sopir angkot mencoba menajamkan pandangannya, karena semakin lama perjalanan semakin gelap saja, selain hujan yang deras juga dibarengi kabut yang sudah mulai turun, karena daerah menuju Lembang memang sudah masuk ke dataran tinggi, maka wajar jika kabut sudah mulai turun, padahal jika kita lihat jam masih terbilang siang, baru juga jam sepuluh pagi. Baru saja aku bergumam dalam hati, kok perasaan ini angkot oleng jalannya, tiba-tiba ...
"Dan.....Braaaaak...sreeeeeet..." "bruuug....braaaaag....weeerrrrrrr......weerrrrr...."Ahhhh......Mamaaaah......................Alllohu Akbaaaar.........Innalillahiiii......", jeritan seisi angkot bersahutan, semua yang keluar beragam kalimat, ada yang panggil ibunya, ada yang panggil Allah ada juga yang ngucapin Innalillahi.
Aku masih memegang tangan Kang Maman waktu angkot terasa oleng jalannya, malahan Kang Maman sempat mengingatkan pak sopir agar pelan aja jalannya, sebab hujan deras dan pandangan kabur karena ada kabut, tapi mungkin gak terdengar oleh pak sopir saking derasnya hujan.
Kecelakaan itu tak ada yang tahu persis awal kejadiannya, yang jelas kalau menurut pengakuan para saksi mata, sopir yang aku tumpangi itu, menghindar kendaraan dari lawan arah yang hendak mendahului angkot di depannya, tapi dia kayaknya kaget sebab angkot yang aku tumpangi juga melaju dengan kencang, akhirnya pak sopir banting stir ke kiri dan nabrak pohon hingga terjungkir sampai dua kali ke lereng perkebunan teh di daerah desa Cikole kecamatan Lembang Kabupaten Bandung.
"Kang....kang Maman....Kang...akang dimanaaaaa..." teriakku mencari kang Maman yang tidak ada di sekitar kejadian. Semua penumpang berceceran terlempar dari angkot, ada yang tertindih ada juga yang sudah tidak bernapas. Aku teriaaak dan nangis sejadi-jadinya..... Tampak warga serta sesama pengendara berhamburan menghampiri kami.
Aku gak bisa berbuat banyak, karena tubuhku pun lemes sekali...dan darah dari pelipis mataku juga terus mengalir...baju krem muda saat itu sama dengan warna kerudungku menjadi merah marun. Kedua kaki dan tanganku gak bisa digerakkan, aku pasrah dan akhirnya aku gak ingat apa-apa lagi.
Kang Maman? Oh...kemana Kang Maman? Aku ini dimana? Kang....Kang Maman......"aku teriak sekencang-kencangnya...tapi orang yang tampak ada di sekelilingku gak merespon aku...semua hanya memandangiku. Semua hanya menatap tajam pada diriku. Mereka sebagian ada yang menangisiku...dan membelai aku.
"Ibu...yaaa...itu.....ibuku...,Buuu.... Aku.... dimana... ibuuu.... ini aku Ryanti Margareta...bu...." ibuku hanya menatapku dan terus menangis tak berhenti.
Tampak ada dua lelaki, yang satu sudah tua tapi masih gagah, dan yang satu masih muda tapi selengean...yaaa...yaaa itu bapak dan kakaku Mas Din..., Maaaassss.....Bapaaak kenapa kalian hanya diaaam menatapku...semua kejaaam, gak ada yang mau jawab....heeey aku dimanaaaa". aku teriaaak teriaaak, kalian hanya menatapku diam seribu basa.
"Lho...kok ada yang bawa bak pemandian jenazah yang biasa aku lihat di mesjid dekat rumahku, siapa yang meninggal ya..."aku terus bertanya-tanya dalam benakku sendiri. Kulihat sekelilingku, tak ada jenazah yang ditidurkan di ruang tamu atau ruang keluarga. Dan ...dan...aku ...kok aku yang tidur di sini...???" jangan...jangan....jangan...jangaaaan... akulah yang akan dimandikan, akulah jenazahnya...akuuuu....akuuuu sudah meninggal.....ibuuuu....pantesan kamu hanya membelai-belai wajahku saja tanpa merespon teriakkanku, bapak, kakak semua hanya menatapku iba, tanpa mengatakan sepatah kata pun....tidaaaaaaakk.....aku belum mau meninggaaalll....Mas Diiiin....biasanya kamu yang suka nolong aku, bela-belain aku...ayoooo mana jiwa setiamuuu...... bapaaak.....aku belum mau matiiiii......huuuhhh...huuuhh.....".
"maafkan aku ibuuuu....ayah....kakak.... aku ga tau akan sesingkat ini hidupkuu....", aku belum bebrbakti kepada ibu bapak dan kakak....selama ini aku kadang tidak mendengar apa yang kalian ucapkan..." , "ternyata keranda itu buat membawa jenazahku."***rd
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H