Aku tak mengerti, tapi tetap kubawa.Â
Sejak hari itu, aku memutuskan untuk tidak mampir lagi ke tempatnya. Dia saja sudah tidak peduli pada dirinya sendiri, lalu bagaimana dengan aku? Apakah kalau kuberitahu dia mau mendengarnya? Belum tentu, dia keras kepala sekali!Â
Sudah dia minggu berjalan, dan aku tetap bertahan tidak mengunjunginya meski rindu juga.
Lalu esoknya, kudapati sebuah kabar yang kemudian sangat kusesali. Aku menyesal menuruti egoku.Â
Fakta bahwa dia meninggal dunia, sangat memukulku.
Tak ingin menyesal untuk kedua kalinya, aku gegas mendatangi rumahnya. Tidak banyak orang yang melayat ke rumah dia. Jumlah pelayat masih bisa kuhitung dengan jari. Dia orang baik, tapi kenapa di hari kematiannya, orang-orang masih saja enggan mendekatinya? Entahlah.Â
Aku masuk dan di ruang tengah rumah mewah itu, kudapati seorang perempuan cantik yang terbujur kaku. Air mataku luruh lagi.Â
Dia sungguhan pergi. Bahkan sebelum aku mengakui perasaan ini padanya.Â
Sepanjang prosesi pemakaman, aku tidak menemukan kehadiran orang tua dan anggota keluarganya yang lain. Hanya ada pembantu rumah dia saja. Ini aneh bukan?Â
Seseorang yang kemarin kutemui di Rumah Sakit mendekatiku. Dia bertanya apakah aku sudah membaca buku yang ia berikan kemarin? Kujawab belum.Â
Kulihat ia sedikit kecewa padaku. Lalu, katanya, "kalau kau ingin kebingungamu terjawab, bacalah buku itu." Seseorang yang mengaku sebagai teman dekat dia, pergi begitu saja.Â