Momen ini selalu kami tunggu sebagai cucu-cucunya. Saya selalu meminta ayah setelah salat Idul Fitri untuk segera ke rumah Atok yang masih satu kota di Sungailiat, kabupaten Bangka.
Atok merupakan Pegawai Negeri Sipil di Depatemen Agama, waktu itu. Selain sebagai guru agama Islam di sebuah madrasah tertua di kota kami.
Setiba di rumah Atok kita langsung salaman saling memaafkan kepada siapa saja yang ditemui. Tidak ada prosesi khusus, siapa yang duluan tiba  maka ia yang duluan salaman dengan atok dan nenek.
Pas mencium tangan Atok, ia akan bertanya, "habis puasanya," kita harus jujur menjawab.
Siapa yang tuntas puasanya akan menerima lebih banyak jumlah salam tempelnya.
Inilah catatan yang tersisa dari kenangan yang indah dan tidak terlupakan dari peristiwa ketika Idulfitri saat menerima salam tempel.
Telah menjadi tradisi dari kakek nenek dulu dan menurun kepada anak cucunya. Ada nilai edukasi di dalamnya yakni mengajarkan silaturahmi, semangat berpuasa, berbagi dan kejujuran.
Perkembangan dari tradisi salam tempel ini bisa juga memberikan hadiah tidak hanya berupa uang namun juga berupa buku.
Salam hangat dari pulau Bangka.
Rustian Al'Ansori
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H