Mohon tunggu...
Rustian Al Ansori
Rustian Al Ansori Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis kehidupan, Menghidupkan tulisan

Pernah bekerja di lembaga penyiaran, berdomisili di Sungailiat (Bangka Belitung)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayah Mengajarkanku Puisi

25 Desember 2020   06:06 Diperbarui: 25 Desember 2020   06:07 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ayah bukan penyair. Bukan pula guru bahasa Indonesia di sekolah. Ia hanyaalah buruh tambang timah di pulau Bangka.

Mengisi waktu luangnya sebagai buruh tambang ayah mengajar mengaji anak-anak di sekitar rumah kontrakan tempat kami tinggal. Hampir tidak ada waktu ayah berdiam diri di sepanjang hari. Waktu dimanfaatkan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan kami. Aku, emak dan 2 orang adikku waktu itu.

Ia juga pencari kayu bakar di hutan yang lumayan jauh dari tempat kami tinggal. Mengayuh sepeda bersama teman-temannya menuju hutan. Kayu bakar yang berhasil dibawa pulang sebagian untuk dijual dan sisanya untuk emak memasak.
Kesibukannya sepanjang hari dengan kelelahan yang mendera tidak menyurutkan semangat ayah meladeni anak-anaknya. Termasuk ketika aku minta diajarkan membuat puisi.

"Ayah, ada tugas dari guru bikin puisi tapi aku tidak bisai," kataku.

Ayah langsung mengambil penaku ia mulai menulis. Aku ingat waktu itu lahirlah puisi berjudul "12 Tahun yang Lalu" mengingingatkan waktu kelahiranku. Waktu itu usiaku 12 tahun masih duduk di kelas 6 SD.

Aku mencoba nengingatkan kembali puisi yang diajarkan ayah. Aku hanya ingat baris pertamanya saja merupakan pengulangan dari judul, "12 tahun yang lalu aku dilahirkan...." hanya itu saja. 

Aku berusaha mencari puisi itu di tumpukan buku pelajaran ketika masa SD dulu. Sebagian sudah dimakan rayap. Namun tidak juga ditemukan.
Ayah tidak hanya pandai membuat syair namun juga tulisan tangannya sangat indah. Ia juga jago membuat kaligrafi. Hingga ayah dipilih menjadi juri Musabaqoh Tilawatil Quran tingkat kabupaten untuk cabang lomba qotil Quran. Komplit kepiawaian ayah tidak hanya syair  indah juga kaligrafi yang ia buat juga tidak kalah indahnya.

Ingat kembali ketika ayah mengajarkan aku menulis puisi menjadi tonggak awal sehingga mendorong aku untuk terus menulis puisi. Aku merasa puisi yang aku buat tidak sebagus puisi yang ayah ajarkan kepadaku.

"Puisimu bagus coba dikirim ke majalah ataupun surat kabar," kata guru bahasa Indonesia ketika masih SMA.

Guru bahasa Indonesia waktu SMA, ibu Sentia tidak selihai ayah dalam menulis puisi. Ternasuk guru bahasa ketika SD dan SMP. Aku tetap meyakini guru pusiku adalah ayahku.

"Banyak membaca buku akan lancar menulis juga akan lancar berpidato," pesan ayah kepadaku.

Pesan itu sangat berharga dan berguna. Terbukti apa yang dipesan ayah kebenarannya seperti yang aku rasakan saat ini.. Tapi memang tidak sekedar pesan dan saran kepada anak-anaknya, ayah juga memberi contoh kepada kami.

Kami melihat ayah sering membaca buku karena itu kami juga turut membaca buku. Ayah juga lihai berorasi ketika ceramah agama. Aku mencoba mengingat ayah dalam puisiku.


        Ayah Mengajarkanku Menulis Puisi

Ayah membuatkan puisi buatku Tentang kelahiranku
Ketika masih duduk di Sekolah Dasar
Setelah aku besar
Aku menulis puisi tentang ayah
Saat kematiannya
Hingga saat ini aku tidak pernah lelah
Tak berhenti berkarya

Puisiku biasa - biasa saja
Tak bagus menulis kata
Aku hanya pakai rasa
Kalau beda selera
Dianggap sederhana
Tidak masalah
Bila dikatakan salah

Sudah tahukan mula aku menulis puisi
Dari ayah yang menginspirasi
Kini ayah telah pergi
Mendahului kami

Tapi aku tak pernah menularkan kepada anak - anakku
Aku pernah menulis puisi untuk mereka
Kesukaanku anakku sudah tahu
Tapi tetap tak suka

Aku tak punya lagi naskah puisi ayahku
Naskah puisiku kuminta disimpankan anak-anakku
Mungkin nanti disukai cucu-cucu
Biar cucu menulis puisi buatku

Sungailiat, 8 September 2018

Ayah sering diundang sebagai penceramah setelah ia menjadi guru madrasah tertua di kota tempat kami tinggal. Pensiun dari pekerjaannya diperusahaan timah ayah menjadi guru biasa hingga menduduki jabatan sebagai kepala madrasah. Ayah telah melengkapi dirinya tidak hanya sebagai buruh juga guru agama. Ayah lebih suka menyebut dirinya sebagai guru agama.
Pengabdiannya sebagai tokoh agama, ayah sempat menjadi penghulu yakni pencatat nikah di desa tempat kami tinggal. Hingga akhirnya ia mundur karena merasa telalu sibuk dengan kewajiban tugas sebagai penghulu dan tidak ingin waktu mengajar di madrasah tersita. Mengajar menjadi panggilan jiwa yang tidak bisa ditinggalkan.

Hingga ayah harus memenuhi panggilan ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Ayah begitu bersenangat untuk melaksanakan rukun Islam yang ke lima itu. Kendati ia mengeluhkan ada rasa sakit di dalam tubuhnya. Tapi doker menyatakan ia tidak sakit dan dapat diberangkatkan ke Tanah Suci.

Setelah menyelesaikan rukun dan wajib haji menjelang berangkat menuju Madinah untuk melaksanakan Arbain, ayah jatuh sakit. Beberapa hari kami kehilangan kontak, ayah di kabarkan meninggal dunia. Ia telah menjadi syuhada dan dimakamkan di Syaraya yang ternasuk dalam wilah kota Mekkah.

Guru puisiku telah pergi untuk selamanya. Bukan berarti puisi-puisiku turut mati. Tidak mati, bahkan terus mengalir dari otakku. Telah memenuhi ruang menulisku. Ketika ayah meninggal dunia, tidak lupa puisi untuknya. Begitu pula ketika emak meninggal dunia tahun lalu.

          Emak Telah Pergi

Puisiku terkunci
Ketika emak pergi

Puisiku kaku
Ketika kami tersedu

Puisiku sepi
Ketika emak mencium bumi

Puisiku letih
Ketika kami bersedih

Puisiku pelan
Ketika kami kehilangan

Puisiku sesak
Ketika panjang terisak

Puisiku terpaksa
Ketika kami berduka

Puisiku terbata-bata
Ketika aku kehilangan kata-kata

Puisiku do'a
Untuk emak yang dikebumikan kemarin agar dilapangkan kuburnya
diampuni dosanya
buatkan ya Allah surga untuknya

Sungailiat, 10 Juni 2019

Mengenang ayah dan emak. Ketika rinduku datang. Nostalgia bersama keduanya, ayah dan emak selalu mengisi baris dan bait puisiku. Membuktikan ayah terus mengajarkanku puisi dalam rinduku kepadanya hingga detik ini.(Rustian Al'Ansori)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun