Mohon tunggu...
Rustian Al Ansori
Rustian Al Ansori Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis kehidupan, Menghidupkan tulisan

Pernah bekerja di lembaga penyiaran, berdomisili di Sungailiat (Bangka Belitung)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tragedi Sabtu Pagi

1 September 2016   16:12 Diperbarui: 1 September 2016   22:55 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gapuk.

Begitulah ia biasa dipanggil.

Nama itu bukan nama yang tertera dalam akte kelahirannya. Nama itu sebutan para ibu tetangga dekat rumahnya, setelah tubuhnya semakin gemuk dengan perut yang gendut. Panggilan itu sebagai bahan ngerumpi ibu – ibu tetangga di dekat tempatnya tinggal. Nama sebenarnya, Watima.

“Abi ! Siapkan dana untuk anak – anak berlibur ke Malaysia,” Watima bersuara lantang pagi itu.

Suaranya terdengar ke beberapa rumah tetangganya. Termasuk ibu – ibu yang sedang berbelanja di warung yang berjarak dua rumah dari tempat tinggal Watima.

Suaminya yang  dipanggi anak – anaknya dengan Abi itu, yang juga dipanggil istrinya dengan panggilan yang sama tak menjawab apa – apa.  Reaksinya hanya dengan menggaruk – garukkan kepala diantara rambut yang semakin menipis. Si Botak, begitulah suaminya disebut para tetatangganya. Galang nama sebenarnya. Galang tak menggubris ucapan istrinya dan terus membersihkan lantai dengan kain pel. Tugas pembantu, digantikan suaminya. Sudah beberapa kali Watima ganti pembantu, karena pembantunya tidak bisa bertahan lama. Tidak tahan dengan sikap arogan Watima.

” Kasihan suaminya seperti pembantu rumah tangga,” ujar seorang ibu di warung yang tak jauh dari rumahnya.

” Apakah itu bukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, KDRT,” kata ibu yang lain.

” Bukan, itu Pembodohan dalam rumah tangga,” timpal ibu yang satunya lagi.

Ngerumpi pun dimulai. Ibu – ibu yang sedang berbelanja itu, saling menyampaikan argumentasi tentang kondisi suami Watima. Watima dituduh telah memberikan guna – guna sehingga suaminya seperti orang dungu. Sikap suaminya yang pendiam itu sudah sejak awal mereka menikah. Suaminya mengikuti apa saja yang diinginkan Watima. Termasuk menyediakan uang untuk membeli barang yang diinginkan. Akibatnya gaji suami istri ini sebagai pegawai kantoran sudah minus. Untuk memenuhi barang yang diinginkan, tak jarang tanpa sungkan - sungkan uang kantor dipakainya. Akibatnya hak pegawai yang lain di kantor jadi tertunda untuk dibayar. Para tetangga banyak yang tahu Watima dan suaminya sudah gali lobang tutup lobang untuk memenuhi kebutuhan sehari - hari. Namun keluarga ini masih tampak tenang dan mewah, dengan sederetan kelengkapan rumah tangga dengan harga mahal yang sebagian besar masih kredit.

Watima, ingin kelihatan selalu berpenampilan gelamor. Ia ingin selalu kelihatan mewah dalam penampilan, seperti layaknya orang kaya.

Terdengar suara benda terbuat dari almunium yang terjatuh, diikuti teriakan, ”aduh!”

” Nah itu baru KDRT,” cetus seorang ibu yang masih berada di warung didekat rumahnya.

” Gila ! Suaminya dilempar dengan panci,” kata ibu yang satunya.

” Istri durhaka !” kutuk ibu yang lain.

Tak habis – habisnya umpatan ibu - ibu melihat sikap Watima. Suaminya dinilai sangat bodoh, pernah menangkap basah di sebuah hotel berbintang Watima bersama dengan seorang laki – laki yang sudah beristri, namun setelah itu suaminya memaafkannya. Setelah peristiwa perselingkuhan itu terbongkar, Watima bukannya bertobat namun lebih kejam kepada suaminya. Galang kini benar – benar jadi laki – laki malang.

Lemparan panci yang dilakukan Watima mengenai kepala suaminya, karena tidak adanya jawaban kesanggupan untuk menyediakan uang untuk anak – anaknya yang sebentar lagi akan menerima raport kenaikan kelas untuk berlibur ke Malaysia.

” Kasihan suaminya,” kata salah seorang ibu yang masih bertahan di warung.

Ngerumpi para ibu jadi ngalur – ngidul kemana – mana. Seorang ibu yang mengaku mengenal Watima sejak masih remaja menceritakan, prilaku Watima yang terlibat pergaulan bebas. Termasuk mengganggu laki – laki yang sudah beristri. Watima dikenal perusak rumah tangga orang lain. Ketertarikan laki – laki kepada Watima, pembicaraan banyak orang karena ia mengamal ilmu guna – guna. Buktinya, saat ini Watima menerima akibatnya dengan kulit tubuh penuh dengan borok dan gatal – gatal. Suaminya lah yang setiap hari memoleskan salep ke tubuh Watima. Dua hari salep dengan harga ratusan ribu rupiah itu habis hanya untuk mengobati dari rasa gatal yang sudah menyiksa Watima cukup lama. Sedangkan borok yang terus diobati tidak pernah sembuh.

” Guru yang memberikan amalan guna – guna itu sudah meninggal dunia sehingga ia tidak bisa disembuhkan, ” kata seorang ibu di warung itu.

Seketika suara ibu – ibu yang terus ngerumpi terhenti, karena melihat suami Watima keluar dari halaman rumahnya berjalan kaki menuju warung.

” Suami Gapuk menuju kemari,” kata salah seorang ibu dengan suara pelan.

Setelah mendekat, para ibu melihat suami Watima dengan perasaan iba. Tubuhnya kurus dengan wajah  kelihatan lebih tua, dari usia sebenarnya yang masih muda.

” Beli apa pak,? ” tanya penjaga warung.

” Beli sayur,” jawab suami Watima pelan.

Banyak yang dibeli. Belanjaannya untuk memenuhi kebutuhan makan hari itu. Ibu – ibu yang ada di warung, sesekali mencuri pandang melihat wajah suami Watima yang baru saja dilempari istrinya dengan panci. Kelihatan disebelah pipi kirinya memar, sepertinya pipinya itu yang terkena lemparan.

” Ayo kita pulang, duluan suami Gapuk selesai memasak sedangkan kita masih disini,” ajak seorang ibu.

Sepontan saja para ibu itu pulang ke rumah masing - masing membawa belanjaannya.

* * *

Sekitar satu jam kemudian.

Komplek perumah dikejutkan suara gaduh. Pekik histeris dari suara Watima. Teriakan itu, jelas suara Watima.

”Tolong ! ” Teriak Watima sambil menangis ke luar pagar halaman rumahnya.

” Ada apa ?” tanya tetangganya dengan cemas.

” Suami saya gantung diri, tolong pak,” Watima seraya menangis sekeras – kerasnya.

Tiga anak Watima sedang tidak ada di rumah hari Sabtu itu. Sedang bersekolah. Watima dan Suaminya pada hari Sabtu tidak bekerja. Libur.

Sebagian besar warga yang berada di komplek perumahan itu berhamburan ke luar rumah, menuju rumah Watima. Suami Watima terlihat tergantung di pintu dapur rumahnya. Tragedi di Sabtu pagi itu, tersebar luas.Tangis Watima keluar sekeras - kerasnya, melihat tubuh suaminya yang tergantung kaku. Tubuh itu dibiarkan tergantung, menunggu kedatangan anggota kepolisian.

Suara sumbang pun keluar dari dari mulut para tetangga.

” Wajar saja suaminya bunuh diri, kalau setiap hari mendapat tekanan,” kata seorang tetangganya, penuh kebencian kepada Watima.

Berbagai spekulasi disampaikan warga komplek perumahan itu. Ada yang mengatakan suaminya terbelit utang. Namun yang paling banyak mengatakan, suaminya dipaksa untuk memenuhi keinginan Watima.

Polisi pun datang, Perlahan menurunkan tubuh suami Watima yang sudah tak bernyawa. Watima terus saja menangis.

” Apa yang terjadi sehingga suami ibu gantung diri? ” tanya seorang anggota polisi.

” Saya menyesal pak, tadi saya minta suami saya meceraikan saya. ”

” Mengapa ibu minta cerai? ”                                 

” Suami saya tidak bisa lagi memberikan kebutuhan batin untuk saya pak,”

” Ibu mau kawin lagi ? ” Tanya polisi.

Watima diam sejenak. Lalu menggelengkan kepalanya.

Sejumlah ibu – ibu mencibirkan bibirnya.

* * *

Watima berduka.

Dukanya tidak terus berkepanjangan. Ia menikmati warisan yang ditinggalkan suaminya. Termasuk juga hutang yang masih banyak. Ada beban Watima yang bertambah, karena tidak ada lagi suami yang setiap hari mengobati penyakit kulit yang sudah lama ia derita dengan mengoleskan salep ke sekujur tubuhnya.

Gatal kulit di sekujur tubuhnya semakin menjadi – jadi. Tiga anaknya tak satupun yang mau membatu mengoles salep ke tubuhnya, karena baunya semakin menyebarkan bau busuk. Sesekali sering terdengar teriakan Watima, yang tidak tahan dengan derita penyakit yang diidapnya.

” Gapuk sedang diazab, karena durhaka dengan suaminya, ” ujar warga setempat.

Sungailiat, 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun