Putra Prabu Salya itu merasakan tangannya bagaikan patah berkeping-keping, tubuhnya terhuyung-huyung seperti tak bertulang.Â
Kini dia terduduk lesu, darah segar nampak keluar dari mulutnya.
Pandangannya buram dan sejenak kemudian orang muda yang biasa brangasan itu tergeletak dan .. "pingsan".
Melihat hal itu bayangan Patih Sengkuni serentak berkelebat, berdiri melindungi tubuh Burisrawa.Â
Tangan kanan nampak menggenggam sebilah keris sementara tangan kirinya menyelamatkan tombak milik Burisrawa.
Matanya berputaran menjaga segala kemungkinan.Â
Ketika dilihatnya Setyaki masih berdiri di tempatnya, segera orang tua itu duduk memeriksa keadaan Burisrawa.
"Suiit !"
Tiba-tiba tanpa terduga keluar isyarat dari mulut orang tua yang licik itu. Maka tak seberapa lama keluarlah banyak orang yang berloncatan dari balik pepohonan.
"Tangkap begundal Dwarawati itu!" Perintah Sengkuni.
Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya para Kurawa telah memencar dan siap menyerang Setyaki dari segala arah.
Setyaki yang melihat keadaan tidak menguntungkan itu segera melolos senjata cemetinya.
Tangannya yang kokoh memutar-mutar senjata yang panjang dan lentur itu. Dengan senjata di tangan itulah Setyaki telah siap menghadapi segala kemungkinan.
"Hai anak-anakku!" berkata Sengkuni kepada para Kurawa, "kalian kenapa bengong? maju semua. Keroyok Setyaki, cincang tubuhnya !"
"Dasar licik kau Sengkuni. Orang tua tak tahu malu." Bentak Setyaki.
Tiba-tiba selarik sinar datang dengan cepatnya ke arah Setyaki.Â
Rupanya Kartamarma yang melontarkan senjatanya. Untunglah Setyaki selalu waspada.
"Serbu, serang, tangkap!"
Dursasana yang sedari tadi diam, kini mulai berteriak-teriak pula.Â
"He, Durmagati ayo bawa pedangmu!"Suaranya menggelegar di antara riuhnya sorak sorai para kurawa, "kalian juga Citraksi dan Citraksa. lho .. lho, kok malah bawa cethok dan linggis, ha..ha. Dasar satriya semprul.. !"
Byuur !Â
Kontan para Kurawa yang jumlahnya sekian banyak itu segera datang memberondong ke arah Setyaki.
"Aduh ketiwasan Kaka Prabuu..!"
Kaget Setyaki menyaksikan sikap para Kurawa yang rendah, licik dan tidak mengindahkan tatanan perang itu.
Mau tidak mau dia segera berlari masuk ke dalam istana menyusul ratu gustinya. Tapi belum sampai melewati pintu, orang yang ia cari sudah ada di depannya.
"Kau menjerit dan menangis seperti anak kecil. Nafasmu lonjong mimis, apa yang terjadi dinda Setyaki?" Tanya Prabu Kresna.Â
Dengan singkat Setyaki melaporkan apa yang ia alami. Terkesiap hati Prabu Kresna mendengar hal itu. Ditambah lagi dengan rasa kecewanya terhadap Prabu Duryudana yang ia rasakan sikapnya sangat sombong dan angkuh kepadanya.
Maka seketika: "Deel !"
Hilanglah wujud Kresna yang kecil mungil. Hawa panas dalam hatinya silih berganti menjadi uap putih biru. Ndedhel ngantariksa. Itulah pertanda Betara Wisnu yang sedang murka.
Tiba-tiba: "Jleeg..!"
Yang ada di pinggir alun-alun Astina sekarang adalah brahala atau raksasa segunung semeru besarnya.Â
Cepat trengginas Setyaki yang bertubuh kecil itu disautnya dan dia sembunyikan di ketiak.
"Huaahh, e.ee..ayo sini semua Kurawaaa ! Jangan hanya satu atau dua yang maju. Krubutlah aku, heee..!" Raksasa itu berteriak bagaikan guntur.Â
Geger kerajaan Astina, semua orang lari tunggang langgang mencari selamat. Hiruk pikuk dan jerit tangis memilukan para wanita dan anak-anak kecil.
Dan lindu serta petir terasakan pula sampai ke Jonggring Saloka. Buru-buru Sang Hyang Giri Nata meminta Betara Naroda dan beberapa dewa untuk turun meredam amarah Sri Kresna.
Maka lenyaplah wujud Raksasa Wisnu dan kembali ke bentuk asalnya sebagai Ratu Dwarawati seperti biasanya.***
SELESAI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H