Sore itu mereka kembali bertemu setelah saling berpapasan di jalan. Dimas menelpon Rima untuk menepi pada sebuah kedai kopi.
“Penasaran, apa yang terjadi di masa lalu sampai membuatmu begini Rim”
Dimas membuka pertanyaan yang mengganggu kepalanya seminggu belakangan atas perempuan itu
“Hehe, perempuan yang berusaha terlalu keras untuk menghindari cinta itu terlihat aneh ya?”
Rima memainkan lelehan es krim cokelat pada dua tumpuk pancakenya
“Kamu unik, tidak perlu aku menegaskan soal itu. Hanya aneh saja, apa yang menjadi alasan kamu begitu keras berlogika”
“Mmm.. mungkin lantaran aku pernah berada di titik sangat kodependen pada seseorang dan menemukan diriku sendiri menuntut kebahagiaan yang hanya bisa dipenuhi oleh absensi fisik dan ingatan ingatan indah itu kali ya”
“Waktu itu, aku sangat sangat sangat sangat sangat sangat sangat sangat sangat sangat sangat sangat” Rima menarik nafas
"Sangat sangat sangat sangat sangat sangat jatuh cinta dan membiarkan semua kendali otak itu lepas dari ikatan kontrolku. Intinya sangat jatuh cinta hingga pada akhirnya aku menemukan diriku menjadi sesuatu yang sangat tidak kusukai. Sedih berkepanjangan dan banyak merepotkan orang lain”
Perempuan ini memang gemar bicara. Batin Dimas bersuara
“Jadi sekarang, menolak untuk jatuh cinta? Gimana kalau ada yang suka dan nembak kamu?”