Hal ini dilakukan untuk mencegah kemungkinan munculnya kecemburuan sosial seperti yang terjadi sebelum kerusuhan. Keadaan dimana pasar dikuasai oleh etnis tertentu membuat warga asli merasa cemburu. Mantil juga mengakui jika dulu, warga Madura memiliki perangai keras. “Saya sampai kesulitan mengevakuasi pasar pada saat kerusuhan itu,” tutupnya. Namun sekarang, sembilan tahun pasca bencana, keadaan sudah kondusif, warga Madura yang kembali ke Sampit telah memahami sepenuhnya peranan dan fungsi mereka sebagai warga pendatang.(***)
...
Ketika kerusuhan terjadi, saya baru berusia sembilan tahun. Sedari kecil saya tinggal di perkampungan Madura. Umur sembilan tahun menjadi penanda pertama kalinya saya melihat mayat tanpa kepala, menyaksikan teman masa kecil dan orang-orang yang saya kenal sepanjang sembilan tahun dipenggal, menelan ‘ajian’ dayak yang bisa membuat tubuh kebal tombak dan berjalan di bara api, dan terjebak di dalam rumah yang tengah diserbu dan dibakar massa.
Sama sekali bukan masa kecil yang menyenangkan.
Saya menyadari sepenuhnya in-depth news yang saya coba bangun ini gagal. Saya tidak berhasil cover both side. Saya belum mampu menafsirkan apa yang terjadi dengan warga Madura hingga nekat menyerang warga dayak di Tumbang Samba. Jika berdasarkan konflik perorangan, mengapa bisa meluas menjadi begitu besar? Sejauh ini, yang saya ketahui mengenai percikan awal kerusuhan hanyalah pertikaian seorang Madura terhadap Dayak.
Ini hanya pendapat saya, mungkin ada semacam kecemburuan sosial terhadap kaum Madura yang secara implisit ‘menguasai’ Kotim dalam segi ekonomi. Kesenjangan sosial? Atau justru ada semacam kesetiakawanan yang sangat besar dalam tubuh masing masing suku hingga rela mati demi terinjaknya harga diri seorang anggotanya? Atau, apakah ini lebih dari sekedar konflik internal antar suku saja? Apakah ada kepentingan kekuasaan atau politisasi unsur SARA? (mengingat di tahun 2001 adalah masa kepemimpinan Gus Dur, yang mana kita tau, beliau adalah persona non grata di pemerintahan).
Apakah benar ini hanya persoalan semantik antar suku saja? atau ada kekuatan yang jauh lebih besar dan ikut melakukan politik ventriloquist?
Sebagai pemuja teori relativitas, maka jawaban saya, seperti biasa, semua berkemungkinan untuk menjadi realitas sampai terbukti sebaliknya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI