Merasa marah, suku Dayak akhirnya melakukan sweeping terhadap suku Madura, kali ini kuantitas korban jauh lebih besar daripada tahun 1999. Korban jiwa berjatuhan, bus bus trans milik warga Madura dibakar, sementara para penumpang (suku Madura) disekap lantas dibantai. Upaya pemerintah saat itu adalah mediasi melalui upacara adat Dayak agar konflik tidak berkelanjutan. Keadaan pun mulai mereda.
Namun siapa sangka hanya berselang empat bulan, tepatnya pada 18 Februari 2001, kerusuhan dengan skala besar terjadi. “Keadaan memang sudah labil dan diprediksi akan chaos, tapi tetap saja kita terkejut,” ungkap Mantil. Pada Minggu subuh (18 Februari) etnis Madura mengepung rumah Sehan dan Dahur, keduanya merupakan suku dayak Manyan. Sehan adalah purnawirawan TNI pada saat itu. Pengepungan itu berakhir dengan dibakarnya rumah Sehan dan Dahur, keduanya (beserta keluarga) tewas terbakar.
Total sepuluh tewas pada pagi itu. Kerusuhanpun pecah, pembakaran, pembantaian terjadi sepanjang hari itu. Polres dan TNI bekerjasama mengungsikan warga Sampit ke Palangkaraya. Di tengah perang yang mulai berkecamuk, pada Senin malam, tepatnya pada pukul 10.25, serangan balik dari suku Dayak dilancarkan.
Seminggu penuh aksi balas itu berlangsung, tidak terhitung berapa rumah terbakar dan leher terpenggal selama perang itu terjadi. “Hingga seminggu setelah tanggal 18 itu, kita 18 kali mengungsikan warga madura ke Surabaya,” ujar Mantil. Jumlah total warga yang mengungsi mencapai angka 57.000 jiwa. Para pengungsi di angkut menggunakan kapal milik TNI dan perusahaan pelayaran swasta. Mereka di angkut menuju pulau Madura. Hingga kini masih terekam dalam kepala warga Sampit mengenai sungai Mentaya yang dipadati mayat tanpa kepala.
Dan tentu saja, bau anyir darah yang menguar hingga sebulan lepas kerusuhan. Tidak ada kalkulasi pasti mengenai jumlah spesifik korban kerusuhan. Saat kerusuhan terjadi, markas Madura terkonsentrasi di Jalan Sarigading dan Hotel Rama. Wajar jika kemudian temuan mayat terbanyak ada di kedua tempat tersebut. Suasana mencekam berlangsung hingga sebulan pasca kerusuhan, Sampit berubah menjadi kota mati, bau amis menyengat di setiap sudut kota. Tubuh tubuh tanpa kepala bergelimpang di tepi jalan. Mayat-mayat korban kerusuhan akhirnya dikuburkan secara massal di kilometer 13,8 Jl. Jendral Sudirman. “Saya dan asisten I Kotim saat itu, pak Duwel Rawing (bupati Katingan sekarang) sempat bingung kemana mayat-mayat itu harus dikuburkan, akhirnya, kita sepakat untuk dimakamkan ke Km 13,” ujar Mantil.
Tidak main-main, jumlah mayat yang menggunung dan sebagian besar sudah hancur itu harus dimakamkan secepatnya. Tidak memungkinkan untuk menyolati mayat satu persatu. “Saya sampai trauma makan seusai pemakaman itu,” tutup Mantil.(***)
...
Kala itu, saya diminta untuk membuat sebuah liputan khusus (tipenya indepth news). Saya kemudian mengisi satu halaman penuh edisi lipsus dengan tema konflik etnik. Tulisan di atas sengaja disuguhkan dengan gaya penulisan boks (ringan). Rasanya agak sulit menerjemahkannya ke dalam straight news. Lagipula, saya merasa memiliki sedikit kelebihan dalam menyusun kalimat dalam penulisan boks. Saya menemui Mantil F Senas sebagai narasumber. Untuk alasan status jabatannya di tahun 2001, dan dari segi kesukuan beliau. Beliau seorang dayak dan beragama (?) kaharingan.
Namun jujur saja, saya sempat jatuh bangun mengejar beliau. Di kalangan wartawan, Mantil merupakan sosok yang cukup sulit ditemui. Sebagai kepala dinas, mobilitas beliau cukup tinggi. Seorang rekan (dan) saya bahkan sempat menunda penugasan hingga sebulan lebih lantaran beliau jarang ada di tempat. Jangan tanya mengenai akses komunikasi, meminta nomor handphone beliau sama susahnya dengan minta dikawini Bratt Pit (sori jayus).
Dan akhirnya saa berhasil memawancarai beliau. Data yang didapat (menurut saya) sangat dayaksentris. Untuk mencoba mengimbangkan beritanya, saya mencoba untuk mencari sisa sisa anggota Ikatan Keluarga Madura (Ikama). Yang saya belum ketahui saat itu adalah, Ikama ternyata sudah dilarang masuk ke Sampit (Kotim). Hal ini di atur dalam Perda Kotim nomor 5 tahun 2004 pasal 7 ayat (2). “Tidak terlibat langsung pada peristiwa konflik dan tidak terdaftar dalam pengurus IKAMA” Saya kemudian memutuskan untuk menulis ini:
...