Narasumber ketiga, Prof Dadang Sunendar yang menjabat sebagai Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, Pria yang sebelumnya adalah wakil rektor UPI ini menjelaskan tentang Gerakan Nasional Literasi.
Prof Dadang Sunendar memang meng-amini rendahnya penulisan buku di Indonesia terutama buku berbasis sastra. Masyarakat Indonesia memiliki kelemahan dalam membaca tulisan dengan teks panjang. Hal ini mempengaruhi serapan informasi, karena yang didapat baru sebatas informasi permukaan. Proses Deep Thinking seringkali tak terjadi. Bias informasi membuat pola pikir masyarakat salah dalam menilai suatu hal yang terjadi.
Giliran narasumber keempat, Lucia Ratih Kusumadewi yang merupakan dosen fakultas sosiologi UI, memberikan pandangannya. Secara budaya sejak masalalu, masyarakat Indonesia adalah masyarakat komunal dengan budaya lisan. Budaya menulis hanya terdapat pada kalangan tertentu saja, seperti kaum ningrat atau kaum sastrawan. Maka secara akar budaya, Indonesia lebih menyukai hal yang bersifat verbal.
Namun begiru , Lucia menyarankan untuk memperbaiki pola pembelajaran yang selama ini dipraktekkan. Seperti budaya belajar satu arah, dimana murid hanya menjadi obyek pendidikan seperti gelas yang dituangi air.
Hal ini berpengaruh pada karakter saat dewasa, dimana kurang mampu memproduksi ilmu pengetahuan. Lebih senang menerima dan menyerap ilmu dari pihak luar. Padahal proses berpikir seharusnya membuat orang mampu membuat sebuah gagasan yang dapat dituliskan dalam narasi yang baik.
Pola pendidikan saat ini juga membuat generasi muda terjebak dalam budaya instan. Adanya internet , membuat semua orang merasa cukup dengan hanya membaca sumber informasi dari dunia maya. Peran mesin pencari seperti google membuat generasi muda malas untuk menyerap ilmu secara mendalam dari sebuah buku. Alhasil ilmu yang didapat hanya kulit luarnya saja. hal ini yang disebut service learning.
Pemanfaatan e-book juga tergolong sangat rendah. Dari data yang didapat , orang yang mengakses e-book tak sampai 5 persen dari total pengguna internet.
Narasumber terakshir, yang menurut Yuswohadi sebagai gong adalah Andy F Noya. Pria yang akrab dengan dunia media dan terkenal karena menjadi presenter acara “Kick Andy” ini menuturkan kisah hidupnya. Perkenalannya dengan buku, peran gurunya yang memberikan motivasi hingga arti buku bagi seorang Andi F Noya.
Sebagai duta baca, andi melihat langsung apa yang terjadi didaerah. Sulitnya menemukan buku. Sulitnya mencari perpustakaan di pelosok daerah. Buku menjadi hal mewah untuk kalangan miskin yang ada dipelosok . Padahal, minat baca anak anak daerah cukup tinggi. Anak anak daerah yang haus akan buku sering kali membentur tembok. Sekolah tidak memiliki fasilitas perpustakaan, kalaupun ada koleksi bukunya hanya didominasi buku teks pelajaran.
Maka Andi F Noya menyambut dengan baik , gagasan BCA untuk membuka program sosial “Buku untuk Indonesia”. Sebuah program mulia agar anak anak generasi penerus mudah mendapatkan berbagai macam buku yang berkualitas. Tentu , program ini melibatkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi.
Menjelang siang, Program “Buku untuk Indonesia” resmi di launching Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja. Program nasional ini akan menjadi lengan untuk membangun minat baca anak anak Indonesia.