“Bangsa yang besar itu bisa dilihat dari besarnya pengorbanan rakyatnya ketika bencana itu datang , besarnya dukungan masyarakatnya untuk turut membantu menyelesaikan musibah yang datang “
Penggalan kalimat itu saya dengar langsung dari Ahyudin, Founder sekaligus Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) . Lelaki asal Tasikmalaya ini berbicara penuh semangat. Tangannya tak henti bergerak menandakan jiwanya larut dalam gayanya berbicara.
Sesaat saya tertegun, membayangkan bencana merupakan wujud kepedulian yang menjadi sebuah parameter untuk menilai sebuah kualitas bangsa . Semakin besar dan pedulinya sebuah bangsa terhadap bencana maka disitulah nilai mulia sebuah bangsa terlihat. Lalu saya membayangkan wajah Indonesia yang merupakan Disaster Hypermarket, merenung sejenak, apakah Indonesia sudah menjadi negara besar untuk bencana ?
Walau harus berangkat pagi pagi dari perbatasan diujung barat kabupaten Tangerang , tak menjadi masalah buat saya. Saya sangat tertarik menghadiri acara “ngobrol kemanusiaan” yang diadakan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Lembaga kemanusian yang telah melebarkan sayapnya menjadi lembaga kemanusian global.
Kiprah ACT tak hanya didalam negeri, namun telah menyasar wilayah bencana di beberapa negara, mulai dari Myanmar, Nepal, China, Palestina, Suriah, Somalia, Bangladesh dan beberapa tempat lainnya.
Saya membayangkan kerja ACT pasti tak main main. Membantu wilayah bencana diwilayah yang akses masuknya saja tak mudah. Daerah konflik perang yang taruhannya nyawa.
Ahyudin menceritakan hampir seluruh kegiatan ACT yang sudah dilakukan sejak 2005. Perjalanan 12 tahun membangun lembaga kemanusian bukan pekerjaan mudah. Tak banyak orang tertarik membangun lembaga yang ketika itu masih jalan sunyi.
Berbekal tekad kuat pasca Tsunami Aceh pada tahun 2004, ACT lahir pada tanggal 21 April 2005. Lembaga yang saat ini bermarkas di Menara 165 Lantai 11 ini berkembang pesat. Konsep penanganan bencana yang awalnya hit and run dirubah. ACT membulatkan tekad memiliki konsep yang lengkap dalam menangani sebuah bencana.
Setelah masa tanggap darurat (emergency) selesai, ACT akan melakukan upaya rehabilitasi . Tak hanya itu saja ACT juga melakukan rekonstruksi. Kerja kemanusian memang harus tuntas tidak setengah setengah. Maka, begitu ACT turun disebuah bencana maka pekerjaan penanganan harus dilakukan dengan cepat dan profesional.
Acara “ngobrol kemanusiaan “ yang mengambil tema : Greatness Starts from Humanity ini dilakukan di sebuah rumah makan Raja Rasa dibilangan Jalan Ampera Jakarta Selatan pada sabtu (25/2). Acara yang mengundang para netizen, blogger, komunitas kemanusian dan mitra ACT ini berlangsung seru. Ahyudin tampil didampingi Imam Akbari , selaku Senior Vice President. Hadir pula Iqbal Setyarso dan Hariyana Hermain . Selaku MC tampil Hafid T Mas’ud, pria tinggi besar ini memandu acara hingga akhir.
Bencana Tak melulu Berwajah Muram
Jujur, saya memang agak awan dengan dunia kemanusian. Walau sering membaca berita bencana yang terjadi di Indonesia namun saya tak terlalu tertarik. Mendengar kata ‘bencana’ pasti yang terbayang adalah kerusakan fisik, korban jiwa, korban luka, keluarga yang kehilangan anggota keluarganya, kehilangan pekerjaan bahkan hingga ada orang yang menjadi gila akibat terkena bencana.
Pokoknya yang terbayang kesedihan, kekelaman, tangisan, luka , perih dan berbagai macam hal yang mengiris perasaan. Dan itu membuat saya agak kurang nyaman. Namun hal itu berubah 180 derajat setelah saya mengenal ACT, bencana ternyata membawa misi mulia yang Tuhan sembunyikan.
Lewat bencana, rasa empati, kepedulian, rasa sepenanggungan mendapat ruangnya. Di kala bencana, muncul pribadi peduli , datang lembaga kemanusian , hadir para filantropi, bergerak para relawan bencana. Keriuhan pun muncul. Media arus besar, media sosial pun mengabarkan. Beritapun menyebar keseantero dunia.
Menurut Ahyudin,” Bencana harus menjadi lahan jihad, lahan kebaikan, lahan kepedulian dimana bencana harus merubah orang menjadi lebih baik “.
Saya sepakat , bencana memang tak pernah diinginkan siapapun. Tak ada orang atau wilayah yang mau mendapatkan bencana. Namun, bencana acapkali menjadi akses masuk bagi perubahan pola pikir manusia, cara memandang alam bahkan gaya hidup seseorang. Bencana ternyata punya imbas mulia yang seringkali terabaikan.
Sebagai contoh, Ahyudin menceritakan pasca terjadi tsunami Aceh, berjuta juta orang berempati, dukungan moral dan materiil mengalir deras, ratusan lembaga kemanusian dunia tumpah ruah, banyak sekali hal yang terjadi dan sulit dicerna pikiran manusia, kepedulian spontan, peristiwa unik yang menggetarkan hati.
Bencana tak melulu berwajah muram, bencana menghadirkan banyak pelajaran berharga. Kecerdasan dan teknologi manusia yang demikian pesat acapkali tak mampu berbuat apa apa ketika bencana itu datang. Tsunami besar, badai angin, banjir bah, gempa bumi , gunung meletus, kebakaran hutan menjadi bencana yang tak satupun teknologi mampu melawannya.
Teknologi manusia baru sebatas memprediksi , memetakan arah dan besarnya badai . Disisi inilah, manusia harusnya mendapat pencerahan. Bencana lahir dari sebuah kekuatan yang Mahakuasa. Tak hanya sebuah fenomena alam semata namun dibalik bencana ada maksud mulia yang Tuhan berikan, sebuah rasa kemanusian.
Bencana melahirkan sifat filantropi dan kerelawanan, Dua hal ini lalu kawin dan menghasilkan apa yang dinamakan humanity (Kemanusian) . Segitiga ini menjadi landasan bergerak bagi ACT. Tiga elemen yang menurut Ahyudin merupakan segitiga putih. Maka, ACT menggalang tiga elemen ini menjadi padu dan seirama. Bergaung dan menghasilkan kerja untuk sebuah peradaban dunia yang lebih baik.
ACT dan Kiprahnya
ACT telah melalui banyak kisah perjalanan mengemban kerja kemanusian. Sebuah pekerjaan yang tak semua orang mampu menjalaninya. Disaat terjadi bencana, di daerah yang abnormal , disaat konflik pecah, disaat ratusan ribu orang mengungsi, disaat ribuan orang kelaparan dan kedinginan, ACT hadir membawakan bantuan. Menyeret nyeret ratusan kilogram barang berupa makanan, obat obatan, pakaian, tenda hingga membangun shelter.
ACT juga menggalang dana untuk membangun sebuah pabrik roti diperbatasan Suriah-Turki. Pabrik roti ini menjadi salah satu sumber makanan bagi para pengungsi yang terusir dari negaranya. ACT juga memberikan bantuan makanan yang programnya diberi nama : Sedekah pangan di wilayah Somalia. Menyediakan susu bagi anak anak Somalia yang kurang gizi.
ACT juga hadir di Myanmar membantu orang orang Rohingya yang mendapat perlakuan tak adil dari negaranya. Selain itu ACT juga selalu ikut membantu warga Palestina yang hingga hari ini mendapat tekanan dari pemerintah Israel. Nepal pun pernah mendapat bantuan ACT.
Bantuan Bencana didalam negeri sudah tak terhitung jumlahnya. Seluruh bencana didalam negri mendapat perhatian serius dari ACT. Aksi kemanusian rutin digelar, memastikan seluruh wilayah terdampak bencana mendapatkan bantuan.
ACT juga membuka varian program, selain kebencanaan. ACT memiliki Global Qurban yang tahun 2016 menjadi peringkat pertama peraih jumlah qurban di Asia Tenggara . Wilayah jangkauannya melewati batas negara.
ACT juga memiliki Global Wakaf, Global Zakat , Solidaritas Kemanusian Dunia Islam (SKDI), Selain itu menghimpun para relawan kemanusian dalam wadah Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) . ACT juga menggagas untuk membangun sistem Humanity Card, Food Truck dan berencana membangun Humanity Distribution Center (HDC) . Semuanya adalah kerja kemanusian, berbagi dengan sesama.
Tentu kerja ACT tak bisa dilakukan sendirian, perlu support dan doa. Perlu kebersamaan dan saling bergandengan tangan. Kerja kemanusian tak akan pernah selesai, akan ada banyak wilayah dan orang yang harus segera dibantu. Tentu lewat tangan tangan kita, lewat kedermawanan dan kerelawanan yang terus tumbuh dan berkembang menjadi pohon kemanusian yang tumbuh lebat dan buahnya bisa dirasakan oleh seluruh manusia. Siapapun mereka. Tanpa sekat apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H