Setelah pemaparan presentasi, pak agus mendapat penilaian dan pertanyaan , baik dari juri dan kompasianer. Mas Nurulloh, sebagai juri memberikan komentar ada kesulitan dalam menulis opini. Seperti juga yang dialami oleh ibu Dini, peserta sebelumnya. Tulisan pak Agus juga belum memenuhi artikel opini yang kuat. Apakah opini pribadi atau opini perusahaan. Memang agak bias.
Menurut pak Agus selama ini dalam tugasnya dalam kehumasan lebih cenderung ke media mainstream dari pada media sosial. Setelah mendapatkan pelatihan dan magang, pak agus mulai menyadari pentingnya media sosial dalam membentuk dan mempengaruhi opini publik.
Pak Agus juga sudah membentuk tim humas kreatif dan mulai menghitung feedback dari media sosial. Untuk keperluan itu pak Agus akan membuat akun pribadi untuk menampilkan opini yang sedang berkembang di masyarakat.
Harapan pak Agus, layanan di wilayah kerjanya di Bangka Belitung akan lebih baik setelah mendapat ilmu berharga selama magang di Kompasiana.
Setelah pak Agus Yuswanta, kini giliran peserta M.Arief Fatciudin. Sebagai peserta terakhir pada check point. Pak Arief (sapaan untuk M.Arief Fatciudin) memulai presentasi , apa saja yang ia dapatkan selama 4 hari magang di Kompasiana.
Arief Fatchiudin, Peserta Terakhir di Cek Poin Ruang Iman Bonjol
Pria berlatar belakang teknik lulusan IPB Bogor yang bertugas di PLN Jaser ini memulai presentasi dengan sebuah artikel opini tentang adanya dualisme sertifikasi (lihat tulisan “Dualisme Akreditasi dan Sertifikasi Ketenagalistrikan, Haruskan Ada pada Kementrian ESDM ?”)
Tulisan opini pak Arief membahas adanya tumpang tindih antara dua peraturan yaitu Permen ESDM No.05 Tahun 2014 dan UU No.20 tahun 2014 Pasal 36 ayat 1. Dalam UU disebutkan bahwa yang punya kewenangan memberikan sertifikasi dan akreditasi adalah Komite Akreditasi Nasional (KAN) namun nyatanya sertifikasi dan akreditasi hanya diakui oleh Kemen ESDM selaku kementrian teknik yang memiliki otoritas dalam penerbitan akreditasi dan sertifikasi.
Rupanya , perbedaan inilah yang menjadi titik bahasan opini pak Arief, Bila mengacu pada dua aturan tersebut, setiap intitusi dan personal ketengalistrikan harus membuat dua akreditasi . Baik dari KAN dan juga dari Kemen ESDM. Nah, bukankah hal itu malah akan menambah biaya ? Padahal ranah bidang sertifikasi sama.
Opini yang disampaikan pak Arief cukup beralasan. Sertifikasi memang dibutuhkan sebagi fungsi standarisasi dan pengawasan. Namun bila saling over lap malah menimbulkan kebingungan diantara pelaku usaha dan orang yang terlibat di bidang ketenagalistrikan.