Karakter baik tidak dijamin oleh kepintaran seseorang. Etika dan budi pekerti lahir dari kebiasaan dan budaya di sekitar anak tumbuh dan berkembang. Tidak lain adalah keluarga.
Beberapa orangtua selalu mengharapkan anak-anaknya pintar, lalu mampu tumbuh dan berkembang dari berbagai macam aspek seperti emosional, kecerdasan spiritual, atau lainnya.
Menjadi orangtua melek informasi dan selalu up to date juga suatu keniscayaan sebagai modal dalam mendidik anak.
Tugas orangtua memperhatikan anak yang dari waktu ke waktu selalu berubah sesuai dengan masa pertumbuhannya. Perubahan pada diri seorang anak tidak selamanya terlihat oleh mata dan terdengar oleh telinga. Sehingga, yang diperlukan bukan saja perhatian dari mata dan telinga, tapi juga perhatian dari mata hati nurani, terutama bagi seorang ibu.
Tentunya tidak ingin kelak anak yang kita sayangi mendapat stigma-stigma negatif dari kehidupan sosialnya. Seperti, di anggap pelit, tidak pengertian, acuh, dan sebagainya. Hanya karena kita salah mendidik sedari kecil.
Dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang dipandang dan dihormati karena sifat dan kepribadiannya yang baik. Bukan titel, status sosial, serta jabatan yang diembannya. Setelah dewasa merekalah (lingkungan masyarakat) yang kelak menilainya.
Di dalam konteks pendidikan agama dan tata krama kewajiban mendidik anak mutlak dilaksanakan oleh orangtua.
Mengajarkan anak sopan santun akan sia-sia bila sebagai orangtua tidak mencontohkan kepada mereka dalam kehidupan sehari-hari. Pembentukan karakter yang sesuai norma sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.
Keluarga menjadi pijakan pertama kali sang anak belajar unggah-ungguh (menempatkan diri) tentang makna kepantasan juga kepatutan. Seyogyanya orangtua memahami bahwa sesuatu yang baik belum tentu pantas.Â
Terlepas dari itu, sebagai orangtua memang harus memantaskan diri sebagai sosok contoh yang patut untuk ditiru. Tidak bisa menuntut sang anak untuk berperilaku baik tanpa adanya keteladanan dari orangtua itu sendiri.
RuRy