Generasi dan penerus bangsa berasal dari tengah-tengah keluarga.
Mendidik anak sudah menjadi tugas dan tanggung jawab oleh para orang tua. Karakter anak terbangun dan terbentuk dari keluarga, teman, dan lingkungan. Bisa dikatakan sejak usia dini peran orangtua yang sangat krusial.
Laiknya tingkatan kelas di sekolah, ada tahap demi tahap yang harus lebih dulu dilalui sebelum mencapai kelulusan. Pun dalam mendidik sang buah hati. Menanamkan dan membentuk kepribadian adalah step awal dalam pendidikan sang anak.
Etika sopan santun menjadi fondasi awal yang mesti pertama ditanamkan. Knowledge juga penting, namun kadarnya mesti sekedar. Justru yang urgen ialah berhubungan dengan yang akan menjadi identitas anak kelak. Yaitu, kepribadian.
Mengenalkan anggota keluarga dan saudara dengan silsilahnya. Misalnya, om, tante, uak, dan sebagainya. Ini tak kalah penting sebagai bagian pendidikan etika anak. Yang mana nanti dapat menempatkan dan memahami dirinya dengan siapa dan bagaimana cara memanggilnya.
Terlebih anak yang memasuki usia prasekolah biasanya memiliki imajinasi dan fantasi yang tinggi. Maka dari itu, peran orangtua sebagai role model mengarahkannya agar imajinasi tersebut justru dapat bermanfaat dan mengembangkan dirinya.
Seiring pesatnya perkembangan teknologi sekarang ini yang meminimalisir aktivitas konvensional, pun dalam hal sillaturahmi keluarga.Â
Untuk mengenalkan anak dengan saudara hendaknya disarankan mengajaknya 'tatap muka' agar mengerti bagaimana cara memanggil silsilah kerabatnya.
Ma, itu siapa, sih?
Rasanya aneh dan kurang pantas seandainya si anak tak saling menyapa karena canggung merasa belum kenal meski dengan sepupunya sendiri. Ini bisa saja terjadi saat ada acara hajatan keluarga. Hal yang sebenarnya kesalahan orangtua karena sejak dini tidak mengenalkan anggota keluarga dan statusnya.
Mempunyai anak pintar dan cerdas adalah dambaan orangtua. Tetapi tanpa adanya keselarasan mempunyai kepribadian yang baik bisa jadi penyesalan di kemudian hari.Â
Kecerdasan bidang apapun bisa saja disalahgunakan. Namun, bila ada benteng etika dan akhlak baik, ada rambu nantinya untuk tidak menyalahgunakan.
Selain itu, kita juga bisa mengajarkan kata-kata lain seperti permisi, ucapan salam, dan lainnya. Ingat juga untuk memberi contoh sehingga anak bisa meresapi kebiasaan tersebut.
Usia dini adalah momentum di mana anak masih murni belum terkontaminasi dunia luar kecuali keluarga. Kesabaran dan ketelatenan dalam mengawal tumbuh kembangnya ada di tangan bapak dan ibunya. Tidak cukup menyerahkan pendidikan anak nantinya hanya pada pihak sekolah.
Etika, empati, dan akhlak berpijak dan terbentuk dari lingkungan keluarga sendiri.
Selain itu, mendidik anak belajar untung-rugi 'hal keuangan' di masa belum waktunya sangat tidak disarankan. Sebab, jika doktrin itu tertanam sejak kecil tidak menutup kemungkinan mindset-nya nanti akan berpengaruh dalam semua tindakannya selalu berorientasi dengan uang.Â
Kurangnya pendidikan 'tenggang rasa' anak nantinya kurang punya empati dengan orang-orang dan lingkungan sekelilingnya. Ini juga patut diperhatikan, karena sangat berpengaruh 'tidak baik' terhadap anak di kehidupan sosialnya setelah dewasa.
Karakter baik tidak dijamin oleh kepintaran seseorang. Etika dan budi pekerti lahir dari kebiasaan dan budaya di sekitar anak tumbuh dan berkembang. Tidak lain adalah keluarga.
Beberapa orangtua selalu mengharapkan anak-anaknya pintar, lalu mampu tumbuh dan berkembang dari berbagai macam aspek seperti emosional, kecerdasan spiritual, atau lainnya.
Menjadi orangtua melek informasi dan selalu up to date juga suatu keniscayaan sebagai modal dalam mendidik anak.
Tugas orangtua memperhatikan anak yang dari waktu ke waktu selalu berubah sesuai dengan masa pertumbuhannya. Perubahan pada diri seorang anak tidak selamanya terlihat oleh mata dan terdengar oleh telinga. Sehingga, yang diperlukan bukan saja perhatian dari mata dan telinga, tapi juga perhatian dari mata hati nurani, terutama bagi seorang ibu.
Tentunya tidak ingin kelak anak yang kita sayangi mendapat stigma-stigma negatif dari kehidupan sosialnya. Seperti, di anggap pelit, tidak pengertian, acuh, dan sebagainya. Hanya karena kita salah mendidik sedari kecil.
Dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang dipandang dan dihormati karena sifat dan kepribadiannya yang baik. Bukan titel, status sosial, serta jabatan yang diembannya. Setelah dewasa merekalah (lingkungan masyarakat) yang kelak menilainya.
Di dalam konteks pendidikan agama dan tata krama kewajiban mendidik anak mutlak dilaksanakan oleh orangtua.
Mengajarkan anak sopan santun akan sia-sia bila sebagai orangtua tidak mencontohkan kepada mereka dalam kehidupan sehari-hari. Pembentukan karakter yang sesuai norma sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.
Keluarga menjadi pijakan pertama kali sang anak belajar unggah-ungguh (menempatkan diri) tentang makna kepantasan juga kepatutan. Seyogyanya orangtua memahami bahwa sesuatu yang baik belum tentu pantas.Â
Terlepas dari itu, sebagai orangtua memang harus memantaskan diri sebagai sosok contoh yang patut untuk ditiru. Tidak bisa menuntut sang anak untuk berperilaku baik tanpa adanya keteladanan dari orangtua itu sendiri.
RuRy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H