Mohon tunggu...
Ruri Andayani
Ruri Andayani Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya seorang penyintas kehidupan

Saya siapa yaa?

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Internet is Suck, Tapi Saya Memeluknya Erat

17 Juli 2022   20:47 Diperbarui: 17 Juli 2022   20:57 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo


Puluhan password kubuat, sebagian besar  tak terpegang lagi. Bukan sekadar ada yang meretas, melainkan tersesat di rapatnya belantara android. Begitulah risikonya kalau gaptek. "Internet is sucks", tapi saya memeluknya erat.

Padahal saya sudah berdekatan --meskipun belum menyentuh-- dengan internet setahun sejak PING pertamanya ke Indonesia dari Amerika Serikat. PING kata mbah Google, adalah kependekan dari Packet Internet Network Groper. Tapi sejak itu teknologi internet berlari tanpa nengok-nengok lagi ke belakang untuk mengecek apakah saya sudah nggak gaptek.

Saya ingat waktu itu 1995 saya sedang magang di satu stasiun radio swasta di Bandung yang memiliki divisi redaksi. Suatu hari, pimpinan redaksi mengabarkan bahwa ada bujet untuk bagian redaksi. 

Dia bertanya, bujet tersebut mending dipakai buat internet atau beli ponsel baru? Tampaknya semua awak redaksi memilih ponsel baru. Ponsel --yang saat itu masih cukup eksklusif-- seenggaknya bisa dipakai buat numpang petantang-petenteng dulu di luar kantor saat sedang liputan .
.
Lima tahun kemudian barulah saya benar-benar mulai merasakan tatap muka langsung dengan internet, yakni saat mulai kerja penuh waktu di satu koran lokal Bandung. Email perdana saya, apalagi kalau bukan Yahoo, dibuat di sini.

Saat itu, jangankan menghabiskan ber-giga-gigabyte untuk mengencani berbagai platform media sosial (medsos) atau  berselancar sampai menyelam bareng mbah Google, sekadar curi-curi kesempatan membuka email di komputer kantor saja sudah bahagia lahir batin. Waktu itu hanya 1-2 komputer kantor yang diakseskan ke internet.

Masih ingat sama Astaga.com dan Satunet.com? Nah, dimasa itulah cerita ini terjadi.

NGEBLOG
Tahun 2000-an bergulir dan dengan cepat internet mengambil alih ruang-ruang kehidupan yang masih lowong, yang bagi sebagian orang mungkin tadinya hanya dipakai melamun. Muncullah waktu itu, nama Enda Nasution, pelopor blogger di tanah air, yang saking identiknya dengan blog dia lalu dijuluki sebagai Bapak Blogger Nasional.

Waktu itu saya sedang diberi tugas menggarap halaman mingguan antara lain rubrik hobi, lalu ada masukan dari seorang rekan agar saya menulis tentang hobi ngeblog. Meskipun saya masih tak paham apa itu blog, saya terima saran tersebut.
Waktu itu blog milik Enda dan Raditya Dika jadi referensi.

Bayangkan, menulis tentang blog padahal sampai tulisan dimuat saya sendiri masih belum paham sepenuhnya apa itu blog. Saya masih bertanya-tanya bagaimana alurnya sehingga individu-individu bisa memiliki portal sendiri di internet,  sementara sekelas Astaga.com saja tumbang.

Tapi pemahaman juga kan berproses. Ini menguntungkan saya meskipun dengan mengorbankan ketakpahaman pembaca (hehe).
.
Hingga akhirnya pada 2005, saya mulai cukup paham bagaimana situs pribadi bisa dimiliki oleh siapapun. Tahun pertama kenal blog, saya bikin tiga. Ini juga semacam pelampiasan hasrat menulis karena saat itu saya sudah tak bekerja di media lagi.

Ada tiga pilihan platform yang memasuki  kesadaran saya: Blogspot (Blogger), Wordpress, dan Multiply. Saya memilih Blogspot, tanpa alasan khusus. Mungkin karena kebetulan utak-atik blog pertama saya di situ, lalu jadi merasa paling nyaman di situ.

Syukurlah tak pernah tertarik pada Multiply yang belakangan bangkrut dan memaksa para penggunanya bermigrasi --sak-artikel-artikel berikut foto-fotonya-- ke platform lain.

Ketiga blog yang saya garap benar-benar cuma untuk menyalurkan hobi. Tapi ide me-"monetize" sempat muncul juga sewaktu fiturnya mulai tersedia: AdSense.

Tapi peluang itu lewat begitu saja di depan mata saat di kemudian hari seorang pemilik blog bahkan bisa membanderol tulisan-tulisannya pakai Euro. Seorang blogger gaya hidup bernama Huda Kattan, berani membanderol postingan di blognya senilai 10 ribu Euro per satu postingan.

Jumlah kunjungan adalah kunci agar pembeli berani menaruh "advertorial" walaupun hanya di blog; kunjungan yang mungkin sekadar sekelebat "click bait". Dan saat Kattan sudah menjadi Eurowan, saya sampai sekarang tetap hanya jadi penonton. Bukan tak pernah mencoba, namun kecerdasan dalam memaksimalkan Manfaat Internet menjadi cuan, mungkin bukan milik semua orang .

Hari ini, kala internet begitu "murah meriah", bisa diakses sambil bobok-bobok di kamar, bahkan sambil melakukan kegiatan jual beli, saya kadang masih terheran-heran bagaimana ngeblog sekadar untuk hobi saja waktu itu sampai bikin saya panas dingin pingin buru-buru balik lagi ke warnet, iyaa warnet. Meskipun satu jam Rp 4.000 waktu itu rasanya mahal benar.

TELKOMNET INSTAN
Nge-warnet setidaknya masih lebih ramah di kocek ketimbang membuka Telkomnet Instan. Bak jalur sakral, alamat ini baru saya ketikkan di komputer rumah untuk hal-hal mendesak, misalnya yang terkait kerjaan. Bahwa komputer rumah bisa diakseskan ke internet saja, waktu itu masih terasa emejing. Bayangkan, terkoneksi ke seluruh dunia hanya dengan duduk di satu pojok kamar; kamar kusam.

Kenapa Telkomnet Instan? Jawabannya, pelanggan Telkom Indonesia mana yang tak tergoda coba-coba nyolok dia, meskipun harus berujung dengan kondisi kocek compang-camping. Internet waktu itu memang mahal betul, masa-masa sebelum ada IndiHome yang merupakan salah satu representasi Internetnya Indonesia.

Satu waktu saya terlibat proyek menulis sejumlah artikel. Rasanya tak mungkin bolak balik ke warnet. Maka, dengan pasang strategi taktis saya ketikkan alamat Telkomnet Instan di komputer pribadi setelah sebelumnya membuat daftar kata kunci.

Lalu, buru-buru saya kopas bahan-bahan tulisan yang muncul, yang sebelumnya hanya saya baca sekilas. Setelah dirasa cukup, dengan kecepatan melebihi bayangan, kabel pengakses ke Telkomnet Instan saya cabut untuk ambil jalan putus tercepat.

Diakhir bulan, tagihan telepon pun meledak bak kompor bocor. Ortu nyap-nyap. Berhubung honor artikel belum keluar, terpaksa membobol duit cadangan dulu yg kondisinya mulai centang perenang.

ERA INTERNET BERLANGGANAN
Akhir dekade pertama 2000-an, adalah fase baru cara mengakses internet yakni dengan berlangganan. Tak perlu lagi menunggu hari berganti untuk ke warnet, atau menyiapkan jurus terjitu memutus Telkomnet Instan.

Sebagai freelancer kere, berat sebenarnya internet berlangganan ini; saya bukan orang yang punya pemasukan rutin per bulan. Tapi syukurlah rumah saya pernah disewa sebagai kantor.

Meskipun dalam 24 jam sinyal tak selalu mulus, namun akses tiada henti, di rumah sendiri --dengan mata masih belekan pun-- membuat saya sempat merasakan masa ugal-ugalan ngeblog. Belum lagi waktu itu Facebook sedang lucu-lucunya. Dan ini bagi saya merupakan salah satu fase ter-"excited" dalam hidup, seraya bagaikan tak peduli nasib warnet-warnet yang biasa saya kunjungi.

ERA PONSEL PINTAR
Siapa sekarang yang tak punya ponsel pintar? Masih banyak pastinya, tapi mamang-mamang pedagang yang lesehan di trotoar pun kini seringkali terlihat sedang sibuk sekrol-menyekrol. Masa petantang-petenteng pegang motorola dan ericsson yang bobotnya bikin ubin retak kalau jatuh, berlalu dengan entengnya. Internet sangat murah, terutama kalau nebeng wifi kantor orang, atawa "ngantor" di taman umum.

Alat pengaksesnya makin memabukkan. Tampilannya yang kian cemerlang dengan monitor lebih lebar dan gambar berwarna semirip apa adanya, mengeluarkan dan merekam bebunyian sesuai aslinya, berkamera yang resolusinya setara kamera digital bahkan penampakannya bisa didongkrak secara instan, dan hasil kerjanya dalam hitungan detik bisa langsung nampang di berbagai platform internet, membuat internet semakin tak terbantahkan. 

Wahai insan pers, terimalah dengan lapang dada bahwa berita yang tercetak di kertas suatu waktu bisa tinggal sejarah, seperti ketika menyatakan dadah pada bentuk broadsheet.

Demi informasi yang lebih dari sekadar berita, orang-orang pun mendadak jadi punya uang untuk memiliki ponsel pintar,  bahkan di tengah harga-harga kebutuhan pokok kian terkerek naik dan daya beli terjun bebas. Tampaknya ada prioritas kehidupan yang dirombak total, sehingga mendadak ada dana untuk memiliki smartphone.

Beruntungnya (untuk tak menyebut sialnya) ini terjadi juga pada saya; terlebih jika internet dengan segala kepraktisan smartphone, bisa menawarkan "return" yang lebih besar ketimbang harga belinya, dan ini sangat niscaya bagi siapapun yang menyeriusinya.

MABUK PASSWORD
Punya ponsel pintar, mulai malas lah buka blog via PC atau laptop yang menyalakan dan mematikannya perlu waktu lebih lama. Belum lagi kalau buka akun-akun pribadi di komputer orang lain harus rajin-rajin melalui prosedur logout.

Akan tetapi entah kenapa mengakses blog dan email yang biasanya di PC atau laptop, menjadi bencana buat blog-blog dan email saya ketika mulai sering mengaksesnya via smartphone (android). Apakah teknologi yang berbeda membuat cara mengaksesnya pun seringkali menjadi terasa lebih rumit?

Password-password untuk ketiga blog dan email pertama saya pun bak tersesat di  belantara android. Saya sudah tak bisa login lagi ke ketiga blog saya dan email legendaris saya itu. Satu-satunya tempat ngeblog yang password-nya masih terpegang, ya di Kompasiana ini. Ah, Saya mungkin cuma gaptek... as always.

Untungnya, Mas Zuck selalu berhasil menghibur dan mengalihkan kebetean saya melalui produk-produk medos bikinannya. Saya bisa saja tenggelam seharian di Instagram misalnya, menontoni kelakuan lawak kucing-kucing, meskipun produk medsos juga menghasilkan seabreg password baru yang mustahil kuhapalkan di luar kepala. Hhh, internet is su... Ah kelihatannya cuma gaptek saja.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun