Usai melewati ujian panjat tebing, sampailah kami di satu lansekap pergunungan yang --pinjam istilah Inggris-- "breathtaking". Namun terlihat bahwa bentang alamnya baru saja diterjang longsor lumayan parah. Sejumlah pohon besar terlihat tumbang.
Perasaan campur aduk antara terpukau sekaligus cemas. Bagaimana kalau ada longsor susulan? Bagaimana kalau hujan padahal kami tak bawa jas hujan? Awan pun terlihat makin tebal. Kami pun kembali pasang muka tertekuk. Apalagi Pak Asep resmi mengaku kehilangan jejak. Longsor ini, kata dia, membuat jalur tertutup.
Syukurlah, akhirnya jalan setapak menuju pulang ditemukan juga. Kami sama sekali tak berniat menemukan dua curug berikutnya, yakni Curug Dampit dan Curuk Legok Leknan.
Ada yang lucu mengenai asal kata "legok leknan", yakni terkait di masa perjuangan ketika satu pesawat yang dipiloti seorang letnan penerbang, jatuh di kawasan ini. Sang Letnan selamat. Warga, dengan aksen Sunda memanggilnya leknan alih-alih letnan.
Sisa perjalanan, kembali membuat kami lupa kesulitan yang telah lalu karena pemandangan di depan membuat kamera selalu dalam posisi terpasang: pemandangan Cekungan Bandung sebelah timur.
Sesampainya kembali di gerbang tiketing, kami mampir di satu warung untuk merenggangkan otak dulu dengan segelas kopi instan panas dan sepiring bala-bala. Segala emosi yang menggelegak saat berada di atas, menjadi lebur dalam gelak tawa. Pak Asep habis dimarahi.
Bagaimana tidak, ini perjalanan sulit yang tidak pernah direncanakan sebelumnya, namun berakhir dengan membahagiakan jiwa karena suguhan pemandangannya yang spekta selama perjalanan. Padahal saya yakin, seperempatnya pun kami belum mencapai tinggi gunung berketinggian 1.800-an meter ini. Dan syukurlah, hujan pun tak pernah turun pada hari itu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H