Mohon tunggu...
Ruri Andayani
Ruri Andayani Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya seorang penyintas kehidupan

Saya siapa yaa?

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Terjebak di Tebing-tebing Belantara Manglayang

7 Maret 2018   23:53 Diperbarui: 8 Maret 2018   16:12 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usai melewati ujian panjat tebing, sampailah kami di satu lansekap pergunungan yang --pinjam istilah Inggris-- "breathtaking". Namun terlihat bahwa bentang alamnya baru saja diterjang longsor lumayan parah. Sejumlah pohon besar terlihat tumbang.

Cekungan Bandung bagian timur dari ketinggian kaki Manglayang (dokpri)
Cekungan Bandung bagian timur dari ketinggian kaki Manglayang (dokpri)

Perasaan campur aduk antara terpukau sekaligus cemas. Bagaimana kalau ada longsor susulan? Bagaimana kalau hujan padahal kami tak bawa jas hujan? Awan pun terlihat makin tebal. Kami pun kembali pasang muka tertekuk. Apalagi Pak Asep resmi mengaku kehilangan jejak. Longsor ini, kata dia, membuat jalur tertutup.

Syukurlah, akhirnya jalan setapak menuju pulang ditemukan juga. Kami sama sekali tak berniat menemukan dua curug berikutnya, yakni Curug Dampit dan Curuk Legok Leknan.

Ada yang lucu mengenai asal kata "legok leknan", yakni terkait di masa perjuangan ketika satu pesawat yang dipiloti seorang letnan penerbang, jatuh di kawasan ini. Sang Letnan selamat. Warga, dengan aksen Sunda memanggilnya leknan alih-alih letnan.

Kiri bawah: Curug Kacapi bagai dinding jalan buntu. Atas: Cekungan Bandung timur, Kanan bawah: jalur jalan setapak hilang gara-gara longsor (dokpri)
Kiri bawah: Curug Kacapi bagai dinding jalan buntu. Atas: Cekungan Bandung timur, Kanan bawah: jalur jalan setapak hilang gara-gara longsor (dokpri)

Sisa perjalanan, kembali membuat kami lupa kesulitan yang telah lalu karena pemandangan di depan membuat kamera selalu dalam posisi terpasang: pemandangan Cekungan Bandung sebelah timur.

Sesampainya kembali di gerbang tiketing, kami mampir di satu warung untuk merenggangkan otak dulu dengan segelas kopi instan panas dan sepiring bala-bala. Segala emosi yang menggelegak saat berada di atas, menjadi lebur dalam gelak tawa. Pak Asep habis dimarahi.

Bagaimana tidak, ini perjalanan sulit yang tidak pernah direncanakan sebelumnya, namun berakhir dengan membahagiakan jiwa karena suguhan pemandangannya yang spekta selama perjalanan. Padahal saya yakin, seperempatnya pun kami belum mencapai tinggi gunung berketinggian 1.800-an meter ini. Dan syukurlah, hujan pun tak pernah turun pada hari itu.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun