Parade manyun pun tak tertahankan. Apalagi langit tampak menggelap. Sang guide yang nekat, Pak Asep, bagusnya tetap menyemangati kami (padahal usai turun kembali ke pintu tiketing, Pak Asep mengaku degdegan juga, waduh!).
Mulai muncul wacana kembali lagi saja, termasuk dari saya :D Tapi wacana ini terpatahkan karena jalur kalau balik lagi pun memang tak lebih mudah. Hingga akhirnya kami bertemu lagi dengan aliran sungai Cihampelas, aliran utama para curug, yang di posisi ini kemiringannya hampir 60 derajat. "Untuk memotong jalur, kita harus menyusuri sungai," instruksi Pak Asep.
Tak ada pilihan lain, kami menaikinya hampir dengan cara merangkaki batu-batu hitam sungai tersebut. Batu hitam ini adalah dari jenis lava basalt, yakni bekas lava yang membeku puluhan ribu tahun silam, saat Manglayang masih merupakan gunung api aktif.
Pemandangan yang indah, air yang jernih, dan suasana yang seakan hanya diberikan Tuhan kepada kami saat itu, membuat kami lupa sejenak pada muka tertekuk dan manyun di bawah tadi. Bahkan salah seorang teman nekat berbasah-basahan di bawah satu air terjun --yang ternyata Curug Kacapi-- tak sadar bahwa kami seperti sedang berada di lorong gang yang buntu.
Saya perhatikan suasana sekitar: kiri kanan berupa tegakan tebing yang ditumbuhi sulur-sulur akar dan pohon merambat. Mundur ke belakang, berarti kembali menuruni sungai curam. Di bagian depan adalah Curug Kacapi berdinding batu, yang menjulang puluhan meter; tempat teman-teman saya masih asyik bergaya-gaya dan berfoto-foto.
Saya mulai curiga. Kemana Pak Asep akan membawa kami keluar dari lorong sungai buntu ini? Keputusan gila diambil Pak Asep: menaiki satu tebing yang berkemiringan hampir 90 derajat dengan tinggi sekitar tiga meter. "Tak ada jalan lain, turun lagi lebih berisiko," kata Pak Asep.
Saya nyaris mogok, tak tahu bagaimana cara selamat memanjat tebing tiga meter hanya dengan bermodalkan satu tambang, plus satu kelebihan yang saya miliki: kelebihan berat badan. Keyakinan tumbuh begitu melihat teman yang sama-sama bahenol, sukses menaiki tebing tersebut.
Saat merayapi tebing, tak ada yang bisa memahami bagaimana saya merasa nyawa seperti sudah di ujung tanduk. Lengan saya yang sedang dalam keadaan sakit, tak bisa sempurna mencengkram tali. Kalau sampai terlepas, maka saya akan terjengkang ke batu-batu keras yang menganga di bawah. Semua sedang sibuk memikirkan keselamatan masing-masing tampaknya.
Pak Asep yang badannya berbobot, ternyata kemudian mengaku bahwa dia juga awalnya tak yakin bisa memanjat tebing tersebut. Apalagi tebing tersebut ternyata belum benar-benar berakhir dalam ketinggian tiga meter itu, melainkan masih ada sambungannya berupa bebatuan yang ditumbuhi tanaman perdu berkemiringan hampir 70 derajat.
Dengan jurus bak laba-laba merayap, tebing terlewati juga. Terimakasih saya ucapkan kepada para batang dan akar perdu yang acak-acakan karena menjadi pegangan untuk memanjat.