Mohon tunggu...
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri)
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri) Mohon Tunggu... Guru - Guru SD, Penulis buku

Hidup bermanfaat lebih beruntung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bagaimana Cara Guru Menyikapi Kurikulum 2022?

31 Desember 2021   10:20 Diperbarui: 31 Desember 2021   17:57 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Guru memberikan materi pelajaran kepada murid saat uji coba pembelajaran tatap muka pada hari pertama di SDN 03 Palmerah, Jakarta Barat, Rabu (7/4/2021).| Sumber: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Saya sempat membaca artikel yang ditulis oleh Ibu Rita Miftahul Janah tanggal 26 Desember 2021 tentang "Kurikulum Prototipe, Gebrakan Terbaru Nadiem Makarim", di kolom chat saya menuliskan "kurikulum 13 saja saya masih thuna-thunuk, kok sudah mau ganti lagi."

Juga membaca artikel Bapak Suparto JW tanggal 29 Desember 2021 yang berjudul "Menjadi Pencuit Berguna, Kurikulum 2022 Indonesia Mau Dibawa ke Mana?" Saya sependapat dengan Bapak Suparto JW yang menyatakan "mau dibawa ke mana Indonesia ini?"

Sebagai guru SD yang ada di pelososk desa, saya kurang tahu betul bagaimana arah kebijakan Pak Menteri, yang kutahu adalah saya menjalankan tugas sebagai guru dan mengabdikan diri untuk mendidik dan mengajar di lembaga tempat saya bertugas, itu saja .

Selebihnya saya berhusnudzan saja, bahwa kebijakan ini sudah mempertimbangkan kelayakan dan kepatutan untuk diterapkan pada sekolah-sekolah pelosok di negeri tercinta ini.

Sebenarnya jika mau survei di lapangan saya dan teman-teman guru yang lain masih menyukai dengan kurikulum KTSP yang dimulai tahun 2007/2008. Kurikulum ini mengacu pada Standart Isi (SI) dan Standart Kompetensi Kelulusan (SKL).

KTSP mudah diterapkan, gampang diterima anak, konsepnya jelas, langkah pembelajaran, dan evalusinya juga tidak bertele-tele. Namun jika saya mengatakan demikian ada pihak lain yang bilang "wah Bu, itu kurikulum kuno."

Menteri Kemendikbud Ristek. Nadiem Makarim. sumber idntimes.com
Menteri Kemendikbud Ristek. Nadiem Makarim. sumber idntimes.com

Aku tak bisa berkata apa-apa, yang saya tahu itu menurut pengalaman saya juga teman-teman, toh pada kenyataannya saya yang merasakan nyaman ketika mengajar dan siswa bisa menerima dengan mudah. 

Bukankah salah satu kompetensi guru adalah kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan dan keterampilan guru yang bisa mengelola suatu proses pembelajaran atau proses belajar mengajar dengan peserta didik.

Tapi apapun itu, saya bisa apa jika Pak Menteri sudah menetapkan kurikulum baru, bagi kami guru di pelosok desa seperti saya hanya bisa melaksanakan tugas sami'na wa atho'na.

Saya masih ingat ketika pertama kali menggunakan kurikulum KTSP (2006/2007), tak ada keluhan apapun terkait kurikulum itu, hingga lahirnya Kurikulm 13 diberlakukan tahun 2013/2014.

Kurikulum itu pertama kali diimplementasikan secara terbatas pada sekolah yakni di kelas 1 dan kelas 4 di SD. Setelah tahun berikutnya kelas 2 dan kelas 5, selanjutnya kelas 3 dan kelas 5. Selama itu pula guru-guru secara berjenjang mendapatkan pendidikan dan pelatihan secara intensif .

Sampai saat ini pun saya masih thunak-thunuk dengan Kurikulum-13, bukan tidak bisa menyampaikan pembelajarannya, namun ada yang berbeda dari KTSP, misalnya kurikulum ini mengharuskan untuk mengaitkan tema atau membelender muatan pelajaran seperti Bahasa Indonesia, IPA, IPS, dan PKn, juga SBdP menjadikan satu tema yang terkait.

Kurikulum-13 mengusung tema, di mana dalam tema tersebut akan muncul banyak kompetensi dasar yang harus dijabarkan dalam indikator-indikator. Saya menyebutnya mengajar tanpa identitas pelajaran, karena hanya satu tema yang terdiri dari beberapa pelajaran, namun ketika dirapor akan muncul semua muatan pelajaran, seperti IPA, PKn, IPS, dan seterusnya.

Menjadi ironis ketika mengajar tanpa menyebutkan mata pelajaran apa, namun hasil evaluasinya dirapor muncul muatan pelajaran IPA, IPS dan yang lainnya. Sayangnya anak-anak tidak pernah tahu materi IPS itu yang seperti apa, pembahasan IPA itu yang mana, mereka hanya tahu tema apa sekarang.

Masalah K-13 bagiku masih mengganjal dan belum terselesaikan, namun sudah ada kebijakan kurikulum baru. Pertanyaannya, seperti yang disampaikan kompasianer Bapak Suparto JW "akan dibawa ke mana Indonesia ini?"

Ganti menteri ganti kurikulum, adalah pernyataan klise yang tak asing di telinga. Kami para guru yang ada di lapangan adalah orang-orang yang menjalankan kebijakan. Keluhan demi keluhan tersimpan yang tak pernah terurai, karena kami adalah wong cilik yang hanya bisa menjalankan kebijakan walaupun terasa kurang pas di hati.

Dalam tulisan ini penulis hanya ingin menyampaikan dengan kalimat sederhana, "Laiyo, wong K-13 wae rung iso tenanan, kok wis ganti kurikulum maneh",

Mengantisipasi hal tersebut di atas saya melakukan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, guru harus selalu belajar, long live education

Belajar sepanjang hayat, artinya sebagai guru harus tetap belajar dalam memahami produk kurikulum yang akan dicanangkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan.

Seperti diawal pemberlakukan K-13, semua guru mengikuti diklat berjenjang, menyesuaikan apapun keadaannya mengikuti alur dan membuka diri untuk mengimplementasikan segala bentuk kurikulum, sehingga sedapat mungkin harus menguasai, dan memahami betul apa yang yang menjadi tujuan dari kurikulum tersebut.

Seperti saat ini pun saya tetap berusaha untuk menyesuaikan apa yang dikehendaki dari K-13. Belajar dan terus belajar agar ketercapaian paradigma baru dalam proses pengembangan kurikulum bisa tercapai.

Kedua, guru sebagai pelaksana kurikulum

Sebagai pelaksana kurikulum, guru sebagai ujung tombak penyelenggara pendidikan, Untuk itu sebagai guru harus bisa mengimplementasikan kurikulum. 

Sebagai pelaku utama guru harus siap dengan segala bentuk perubahan dan kebijakan. Sebaik apapun kurikulum, tidak akan membuahkan hasil jika guru tidak mampu melaksanakannya.

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ke 4 disebutkan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam membangun bangsa maka dimulai dari membangun individu, dalam hal ini bagaimana kita memberikan bekal pengetahuan kepada generasi bangsa ini, agar nantinya dapat menjadi penerus dan pemegang estafet pendidikan untuk kejayaan bangsa.

Ketiga, guru sebagai kurikulum

Guru sebagai kurikulum artinya guru menjelma menjadi "kurikulum hidup" (teacher as a living curriculum). Guru bukan hanya sebatas penyampai materi pelajaran, namun juga harus bisa mendidik dan membentuk karakter siswa.

Oleh karena itu guru harus menjadi teladan atau uswah hasanah (role model) bagi seluruh peserta didik.

Akronim guru harus bisa digugu dan ditiru adalah sebagai cerminan dari kurikulum hidup, bahwa guru sebagai sumber belajar yang berjalan menebar hikmah dan pelajaran kepada siswa sehingga mampu menjadi motivator dan fasilitator bagi semua siswa.

Keempat, berhusnudzan dengan kebijakan

Tak ada yang bisa dilakukan bagi kami yang ada di pelosok desa, selain manut apa yang menjadi kebijakan pemerintah, para pakar pendidikan yang telah mengkaji dan menetapkan kebijakan. Otomatis telah melakukan uji kelayakan di berbagai lembaga pendidikan yang ditunjuk.

Untuk itu berprasangka yang baik dan berusaha menerima dengan mengimplementasikan kurikulum dengan baik adalah hal mutlak yang harus dilakukan. Semoga apa yang diikhtiarkan pemerintah dalam hal ini Kemendikbudristek membawa dampak yang posistif bagi pelaku pendidikan di Indonesia.

Salam sehat selalu, semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun