Mohon tunggu...
Ruri Handayani
Ruri Handayani Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa S2 - Universitas Mercu Buana NIM ; 55521120043

UNIVERSITAS MERCU BUANA, PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI, MATA KULIAH PAJAK INTERNASIONAL & PEMERIKSAAN PAJAK (Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB01_Manajemen Pajak atas Beban Natura, Deductible, dan Non Deductible Expense di Dalam UU HPP

25 September 2022   19:07 Diperbarui: 25 September 2022   19:12 931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah telah resmi menerbitkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Pada 29 Oktober 2021. Perpajakan merupakan terobosan peraturan perpajakan yang di gadang untuk mendukung percepatan pemulihan perekonomian Indonesia yang terdampak akibat pandemi COVID-19.

Yang menarik dari peraturan ini terdapat pada Bab III Pajak Penghasilan UU HPP diantaranya mengatur mengenai natura, tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi & Badan. Yang akan kita ulas kali ini mengenai pemberian natura oleh pemberi kerja yang dapat dibiayakan secara fiskal. Namun disamping itu juga terdapat natura yang bukan objek pajak, diantara lain :

1. Penyediaan bahan makanan minuman bagi seluruh pegawai

2. Natura karena penguasagaan disuatu daerah

3. Natura karena keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan, misal seragam

4. Natura yang dibiayai oleh APBN

5. Natura dengan jenis dan batasan tertentu.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh yang telah diubah dengan UU HPP,  dimana natura didefiniskan sebagai imbalan dalam bentuk selain uang. Sedangkan kenikmatan didefinisikan sebagai imbalan dalam bentuk hak untuk memanfaatkan suatu fasilitas tertentu yang disediakan.

Sebetulnya belum ada aturan jelas mengenai hal ini, namun jika petunjuk pelaksanaannya telah di rilis, maka khususnya bagi Wajib Pajak Badan akan menciptakan efisiensi terhadap biaya yang sebelumnya harus dikoreksi fiskal dalam penyusunan SPT Tahunan Badan,

Meskipun dapat dikatakan bahwa sebetulnya regulasi natura dalam UU HPP ini juga merupakan strategi yang disusun oleh pemerintah dalam menciptakan keadilan, dan nantinya akan ada threshold tertentu dalam pengaturannya.

Dalam tekhnisnya DJP akan melakukan cross-matching sebagai cara membandingkan natura yang diakui sebagai penambah penghasilan bagi pegawai dan natura yang merupakan biaya bagi perusahaan.

Sejatinya ketika petunjuk pelaksanaan atau turunan atas peraturan ini dirilis, sebaiknya DJP secara spesifik mengaturnya dan tidak membuat peraturan yang ambigu atau justru sebaliknya merupakan bumerang bagi Wajib Pajak jika salah menafsirkan peraturan tersebut.

Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai natura, dalam pemanfaatan biaya secara fiskal atau biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan sebagaimana diatur harus memenuhi kriteria yang berkaitan dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, memelihara yang biasa disebut 3M. Biaya-biaya ini diatur dalam UU HPP Pasal 6 diantaranya :

  • Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, contohnya biaya marketing promotion, beban penjualan yang diatur dalam PMK No. 02/PMK/03/2010
  • Biaya penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
  • Iuran kepada dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan Indonesia.
  • Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta perusahaan untuk tujuan 3M
  • Biaya atas Kerugian selisih kurs mata uang asing (Exchange Foreign Losses)
  • Biaya penelitian yang dilakukan di Indonesia
  • Biaya Beasiswa, magang serta pelatihan
  • Piutang yang nyata-nyata dapat ditagih, tapi harus memenuhi syarat kumulatif. Definisi ini diatur dalam 207/PMK.010/2015
  • Sumbangan untuk penanggulangan bencana
  • Sumbangan penetlitian yang dilakukan di Indonesia
  • Biaya Sumbangan atas pembangunan infrastruktur social
  • Sumbangan atas Fasilitas Pendidikan
  • Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga

Sebaliknya, didalam Pasal 9 UU  PPh mengatur tentang biaya yang tidak boleh dikurangkan penghasilan bruto dalam menghitung PPh Badan yang pada akhirnya menimbulkan koreksi fiscal positif.

Koreksi fiscal positif dilakukan untuk mengoreksi atas biaya yang yang tidak boleh menjadi pengurang sehingga menyebabkan kenaikan penghasilan netto atau Penghasilan kena pajak dan dampaknya adalah Pajak yang terhutang  tentu akan menjadi besar, simple nya adalah koreksi fiscal positif maka PPh terhutang bertambah.

Aturan ini sebaiknya dapat menjadikan wajib pajak dalam melakukan perencanaan pajak (Tax Planning) agar penghasilan netto WP tsb tetap dalam porsi yang wajar (secara proporsi biaya harus menggambarkan lebih banyak biaya yang bisa dibiayakan dibandingkan biaya yang harus dikoreksi).

Perencanaan pajak yang matang dapat meminimalisir pembayaran pajak yang terhutang dengan tetap menaati aturan yang berlaku.

Dibawah ini kita akan membahas secara eksplisit terkait biaya yang secara umum perlu dilakukan koreksi fiscal positif:

  • Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham , pemilik ataupun sekutu dan anggota.
  • Diatas kita sudah membahas mengenai biaya untuk upaya menagih, merawat dan memelihara tentu saja beban untuk kepentingan pribadi bukanlah biaya yang bisa dibebankan secara fiscal karena tidak ada hubungannya sama sekali dengan kegiatan bisnis/usaha, tapi biasanya secara komersial beberapa wajib pajak tetap akan mengeluarkan biaya terkait hal ini, itulah kenapa dibutuhkan untuk lakukan koreksi fiscal.
  • Pembentukan atau pemupukan dana cadangan. Secara prinsip dana cadangan itu bukan biaya karena belum adanya realisasi. Namun dalam kelaziman usaha terdapat beberapa jenis usaha dibidang keuangan yang diperbolehkan untuk membentuk dana cadangan, namun UU PPh mengaturnya sebagai pengecualian. Dana cadangan atas piutang tak tertagih yang diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto menurut pasal 9 (2) huruf c adalah sebagai berikut :Cadangan atas piutang tak tertagih untuk usaha perbankan dan usaha lain dalam menyalurkan kredit(hutang), sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan yang bergerak untuk melakukan pembiayaan konsumen dan perusahaan anjak piutang.
  • Cadangan untuk bidang usaha asuransi termasuk didalamnya cadangan dalam bentuk bantuan social yang dibentuk oleh badan Penyelenggara Jaminan social (BPJS)
  • Cadangan penjaminan untuk LPS (Lembaga penjaminan Sosial)
  • Cadangan untuk biaya reklamasi dalam usaha pertambangan
  • Cadangan biaya penanaman Kembali untuk usaha kehutanan, dan
  • Cadangan atas biaya penutupan dan pemeliharaan pembuangan limbah industry untuk bidang usaha pengolahan limbah

Ketentuan secara tekhnis terkait hal ini sebenarnya juga diatur dalam PMK No. 219/PMK.011/2012

  • Premi asuransi Kesehatan , asuransi kecelakaan, asuransi jiwa , asuransi dwiguna , dan asuransi beasiswa, yang telah dibayar oleh WP Pribadi. Premi asuransi Kesehatan , asuransi kecelakaan, asuransi jiwa , asuransi dwiguna , dan asuransi beasiswa tidak boleh menjadi biaya untuk mengurangi penghasilan bruto karena jika WP pribadi tersebut dimaksudkan untuk menerima berupa santunan asuransi atau penggantian , maka atas penerimaan tsb bukanlah objek pajak. Namun sebaliknya jika asuransi tsb diberikan langsung oleh pemberi kerja maka bagi pemberi kerja beban asuransi tsb boleh biayakan dan sebagai penerimanya yaitu pegawai yang bersangkutan merupakan objek pajak.
  • Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan. Point biaya NDE ini yang sebenarnya menjadi focus utama untuk diulas secara terpisah dimana Sebagian sudah diuraikan diatas.
  • Jumlah yang melebihi batas kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa atau pihak yang berelasi.

Didalam suatu bisnis, terdapatkan pembayaran imbalan kepada pegawai yang juga merupakan pemegang saham. Secara konsep dasar biaya sehubungan dengan 3M yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang dikeluarkan dalam jumlah wajar sesuai dengan kelaziman usaha, oleh karena itu jika melebihi batas wajar maka tidak boleh dijadikan sebagai biaya.

Meskipun sebenarnya prinsip wajar ini sulit untuk diukur tetapi bisa dilihat secara substance over form.

  • Harta yang dihibahkan, bantuan dan sumbangan, dan warisan

Atas biaya ini tidak boleh dibebankan, kecuali wajib pajak orang pribadi dalam menunaikan zakat atas penghasilan yang dibayarkan kepada badan amil zakat atau yang disahkan oleh pemerintah. Terkait hal ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2010.

  • Biaya PPh

Yang dimaksud biaya PPh didalam Pasal 9 ayat (1) ini adalah PPh yang terhutang dan disetorkan oleh WP itu sendiri. Dimana tekhnis biaya Pajak penghasilan ini merupakan penghasilan bersih dikalikan tarif pajak berlaku yang kemudian timbul beban pajak, oleh karena itu atas beban pajak tersebut tidak boleh dibiayakan secara fiscal.

Hal yang dapat dilakukan dalam perencanaan pajak agar biaya PPh ini tidak menjadi beban yang besar misal pemilihan metode dalam PPh 21 untuk pegawai tetap, dimana umumnya terdapat 3 jenis PPh pasal 21 pegawai tetap yaitu ;

1. Metode Gross : PPh 21 ditanggung langsung oleh penerima penghasilan dalam hal ini adalah pegawai tetap. Secara pemanfaatan dalam PPh Badan sudah seimbang, biaya gaji dicatat sebesar perhitungan yang seharusnya kemudian karyawan menerima penghasilan bersih setelah pajak.

2. Metode Gross-up : Secara tidak langsung sebetulnya PPh 21 ini ditanggung oleh pemberi kerja dengan cara menambahkan PPh21 kedalam penghasilan bruto karyawan dari perhitungan penghasilan bruto setelah pajak yang kemudian dihitung ulang. Perlu dicatat juga dengan gross-up artinya penghasilan kena pajak juga akan semakin naik dan kemungkinan tarif progressive juga meningkat. Secara pemanfatan dalam PPh Badan tentunya biaya Gaji akan menjadi lebih besar dan tetap bisa dibiayakan secara fiscal, hanya secara internal perusahaan /manajemen tentunya ini akan menjadi pertimbangan dikarenakan proyeksi biaya gaji meningkat dari perhitungan normalnya.

3. Metode Nett : Aapabila terdapat Wajib Pajak yang memilih dengan metode ini maka harus mempertimbangkan aspek yang timbul dari Beban Pajak Penghasilan dari PPh 21, yang pada akhirnya di PPh Badan harus dilakukan koreksi fiscal positif. Secara biaya gaji masih dalam perhitungan normal tidak ada consideration atau pertimbangan khusus secara proyeksi keuangan perusahaan dan juga secara tarif progressive nya sesuai dengan penghasilan yang diterima oleh karyawan.

  • Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya

Sebetulnya point ini hampir mirip penjelasannya dengan poin 1 diatas.

  • Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.

Didalam definisinya, anggota persekutuan, anggota firma dan perseroan komenditer tidakt terbagi atas saham yang diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada lagi imbalan berupa gaji.

  • Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan perpajakan.

Biaya sehubungan dengan hal ini tidak boleh dibebankan secara fiscal termasuk didalamnya adalah PPh, PPN & PPnBM, PBB, Pajak daerah dan lainnya.

Semua sanksi berupa denda maupun bunga yang terkait dengan perpajakan tidak boleh dibebankan secara fiscal. Menurut UU KUP , sanksi administrasi perpajakan akan diterbitkan melalui STP (Surat Tagihan Pajak) dan SKPKB (Surat Ketetapan pajak kurang bayar) yang diterbitkan dengan hasil pemeriksaan pajak atau keterangan lain yang dilakukan.

  • Biaya lainnya

Biaya lainnya diatur secara terperinci dalam aturan spesifik, diantaranya adalah :

- Biaya sehubungan dengan penggunaan sedan dan telepon seluler termasuk pulsa harus dilakukan koreksi fiscal positif sebesar 50% dari total jumlah biaya tsb. Dasar hukum yang mengatur hal ini KEP-220/PJ./2002

- Biaya entertainment atau jamuan yang tidak mencantumkan daftar nominative maka harus dilakukan koreksi fiscal positif atas seluruh nilainya. Dasar hukumnya adalah SE-27PJ.22/1986

- Kerugian piutang tak tertagih yang tidak sesuai dengan PMK No. 207/PMK.010/2015.

Membahas lanjut terkait biaya natura, di sejumlah negara-negara lain seperti tiongkok, Amerika Serikat, dan Singapura natura (Fringe Benefit) dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto bagi pemberi kerja dan adanya perlakuan khusus misalnya Batasan jumlah yang bisa dikurangkan , pengecualian bahwa biaya tsb dianggap sebagai natura, serta kondisi khusus lainnya.

Menyadari pentingnya Sumber daya manusia untuk kelangsungan hidup dan kemajuan perusahaan, maka wajar jika perusahaan menciptakan beberapa kebijakan tunjangan yang diberikan kepada karyawan

Berikut contoh sederhana perhitungan pajak penghasilan badan dengan menggunakan tarif UU HPP yaitu 22% :

Koleksi pribadi
Koleksi pribadi

Semua perhitungan diatas hanya sebagai ilustrasi, tapi mari kita simak bagaimana biaya natura pada bagian "Positive Correction" 3-c Benfit in kind or in-convenience compensation for employment dengan nilai sebesar kurang lebih 12Milyar, sesuai yang sudah ada pembahasan diatas, maka sebetulnya aturan UU HPP apabila petunjuk pelaksanaannya sudah jelas mengatur secara spesifikasi dari berbagai jenis BIK atau benefit in kind dan/atau natura maka perusahaan sebagai wajib pajak sekaligus pemberi natura kepada karyawan akan merasakan manfaatnya dengan optimalisasi regulasi tsb.

Penerapan pajak atas natura sekaligus melakukan pemenuhan system simetri dalam system perpajakan, dengan Fringe Benefit Tax natura dijadikan sebagai objek bagi penerimanya atau taxable income dan atas biaya tsb juga dapat dibiayakan secara fiscal oleh perusahaan.

Akan tetapi perlu diingat hal ini mungkin saja menguntungkan bagi perusahaan untuk dapat menciptakan struktur modal yang lebih kuat dan lebih berkesinambungan karena kecilnya PPh Badan yang terhutang, tapi tidak bagi karyawan itu sendiri apabila perusahaan yang menerapkan pemotongan PPh pasal 21 pegawai tetap dengan metode gross.

Pada saat kompensasi/BIK/Natura tsb dimasukkan kedalam komposisi penghasilan bruto karyawan, maka tarif Progressive PPh Pasal 21 nya akan semakin tinggi, terlebih adanya peraturan terbaru di UU HPP mengenai lapisan penghasilan yang mencapai diatas 5 milyar yang dikenakan tarif 35%.

Maka sehubungan dengan kasus diatas akan menyebabkan pemotongan cukup besar yang harus karyawan tanggung, idealnya yang akan merasakan kerugian ini cenderung karyawan high level karena income yang bersumber dari gaji saja mungkin bisa capai di tarif progressive, misal untuk pemberian natura berupa tempat tinggal, kendaraan mobil, yang sebelumnya dicatat langsung oleh perusahaan sebagai biaya natura dan NDE di PPh Badan, sehingga sulit untuk fiskus melacak keseluruhan income dari karyawan high level tersebut, karena sejatinya tempat tinggal & kendaraan mobil yang digunakan oleh karyawan high level tsb juga termasuk kedalam in-direct income yang sudah selayaknya menjadi taxable-income.

Tantangan yang mungkin dihadapi dalam penerapan pajak atas natura

  • Ketika imbalan yang didistribusikan tidak untuk individual melainkan imbalan untuk dinikmati untuk seluruh pegawai lebel bawah sampai level atas.
  • Tunjangan atau allowance untuk karyawan yang di samarkan sebagai biaya penggantian atau pengeluaran lainnya, ini memungkinkan karyawan yang menjadi penerima penghasilan menghindari dari kewajiban perpajakannya .
  • Kesulitan didalam melakukan pengukuran nilai manfaat natura tersebut.

Semoga dalam petunjuk pelaksanaannya mengenai pajak atas natura ini, fiscus dapat merincikan objek-objeknya agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum, dan pemerintah harus melakukan penyempurnaan  dan peningkatan kapasitas fiscus dikarenakan perubahan ini melibatkan banyak hal, seperti pencatatan akuntansi pada perusahaan yang cukup kompleks, smisal mendapatkan fasilitas rumah / tempat tinggal sebagai pemberian natura, maka perlu diperjelas termasuk jenis apapun yang melekat pada rumah tsb atau justru dikecualikan.

Contoh natura lainnya adalah berupa fasilitas mobil, bagimana valuasi atau pengukuran nilai dari fasilitas tsb apakah dari nilai asset atau dari nilai pasar, dsb.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun