Mohon tunggu...
Runi
Runi Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

Menulis di waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Hutan dari Burung Gereja di Atas loteng

18 April 2018   16:53 Diperbarui: 18 April 2018   17:03 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di suatu hari, di tengah kota yang hingar bingar oleh suara kendaraan dan terik panas matahari yang menerpa gedung-gedung serta rumah-rumah tinggi, hiduplah sekelompok burung gereja. Seekor burung gereja betina sudah berjaga bersama anak-anaknya di tengah sarang 7 telurnya yang akan segera menetas.

"Bu, hutan itu apa?" Tiba-tiba, salah satu anaknya yang selalu ingin tahu bertanya padanya

"Hutan? Apa itu? Ibu tidak tahu nak, coba kamu tanyakan pada nenek atau kakek mu, mungkin mereka tahu." Jelas ibu burung gereja pada anaknya.

Anak burung gereja itu hanya diam merengut mendengar jawaban dari ibunya.

Dari celah kecil menuju sarang ibu dan anak-anak burung gereja yang sedang berjaga itu, muncullah nenek dan kakek burung gereja. Dengan segera, sang anak burung gereja yang tidak mendapatkan jawaban dari ibunya langsung menanyakan pertanyaan yang sama pada nenek burung gereja.

"Nenek, hutan itu apa?" tanyanya pada nenek sambil mengeluskan kepalanya pada bulu-bulu neneknya.

"Hutan? Kenapa tiba-tiba cucuku yang pandai ini bertanya tentang itu?" Nenek burung gereja berbalik bertanya pada cucunya.

"Kemarin waktu aku sedang bermain dengan teman-teman yang lain, aku bertemu dengan burung yang jarang sekali aku temui. Bulunya cantik serta suara mereka merdu sekali. Katanya mereka dari keluarga kutilang dan perkutut. Mereka berdua ingin mencari keluarga mereka di hutan, jadi mereka menanyakannya pada ku arah menuju ke hutan. Tapi sayangnya aku tidak tahu Nek."

"Oh begitu. Sangat disayangkan." Ujar nenek sambil termenung kemudian.

"Kenapa nek? Apa yang sangat disayangkan?" tanya anak burung gereja tidak sabar dengan jawaban neneknya yang separuh-separuh. Dia mendorong-dorong badan neneknya dengan kepalanya meminta jawaban. Nenek burung gereja melirik ke arah kakek burung gereja yang mengangguk tanda setuju untuk menceritakan asal usul keluarga mereka. Nenek burung gereja kembali melihat anak-anak dan keluarganya sampai akhirnya dia menghela nafas panjang.

"Hutan adalah tempat tinggal kita dulu. Sebelum para tetua dan aku berpindah-pindah secara berkelompok dan akhirnya menetap ditempat ini. Hutan adalah tempat yang sejuk, indah, teduh, damai dan hijau." Ingat nenek sambil bercerita. "Rumputnya selalu basah oleh embun mulai dari pagi hingga malam, sehingga kita masih bisa menghisap embunnya tanpa menunggu hujan atau pergi ke sungai. Tanahnya juga selalu basah dan tidak keras, sehingga kita masih bisa mencari cacing dibawahnya. Beraneka buah dan biji-bijian tersedia dan melimpah ruah disana." Kenang nenek

"Dulu, disaat kita para burung gereja masih hidup di hutan belantara, hutan di pagi hari selalu menyisakan embun dari kabut yang sendu, membuat udara hutan masih terasa lembab. Seluruh tanah yang ditumbuhi pohon-pohon besar, memiliki daun lebat menutupi langit, yang selalu dan seakan menantikan matahari mengeringkan sisa embun di waktu subuh. Di beberapa dahan pohon, terlihat sarang-sarang burung pipit, perkutut, burung kaka tua, camar dan juga jenis burung lain dengan bulu yang indah serta suaranya yang merdu. Semua burung-burung itu adalah sahabat kita." Kenangnya dan mulai terdiam.

"Kalau begitu kita juga harus pergi ke hutan seperti burung perkutut dan kutilang dong Nek?" tanya anak burung gereja.

Nenek burung gereja hanya tersenyum, dan terdiam.

"Benarkan kek?" Tanya anak burung gereja ke kakeknya.

"Mungkin hutan sekarang hanya tinggal nama nak." Jelas kakeknya. "Hutan kini hanya akan menjadi cerita untuk kalian. Tempat itu sudah tidak ada." Jelas kakek burung gereja pada cucunya.

"Tapi kemarin,,, kedua burung itu mencari arah hutan dan akan tinggal disana." Bantah anak burung gereja.

"Kemungkinan mereka tidak akan menemukannya." Ujar kakek burung gereja.

Anak burung gereja menunduk dan bersedih mendengar penjelasan kakeknya.

"Dulu, di pagi hari, hutan mulai menjadi ramai dengan nyanyian dari burung perkutut, dan kutilang. Disambut juga dengan nyanyian dari cicitan burung kaka tua, camar serta burung yang lainnya. Tidak ada hari yang terlewat tanpa nyanyian para sahabat kita itu." Lanjut nenek bercerita.

Anak burung gereja mendengar cerita nenek lagi. Ibu burung gereja pun yang sedang berjaga di depan telur-telurnya ikut mendengarkan cerita nenek.

"Apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat kita Bu?" tanya ibu burung gereja penasaran. Dia tidak pernah tahu mengenai hutan yang merupakan asal ibu dan ayahnya tinggal.

"Suatu hari, saat matahari baru ingin menampakkan cahayanya disela-sela dedaunan yang lebat, saat suasana hutan masih berkabut, para binatang berkaki empat berlarian membuat keributan di bawah sarang kita. Mereka berhamburan seperti menghindar dari sesuatu yang buruk." Nenek menghentikan ceritanya, mengingat yang saat itu terjadi.

"Kakek dari ayahku, keluar dari sarang kami untuk melihat keadaan, dan saat kembali, dia menyuruh kami semua untuk terbang meninggalkan sarang. Satupun dari kami tidak ada yang membantah. Aku yang mengikuti ibuku keluar sarang melihat sahabat-sahabat kami sudah terbang berkelompok meninggalkan sarang mereka." Ujar nenek.

"Saat itu, udara hutan tidak seperti biasanya, begitu panas dan penuh dengan kabut hitam yang membuat rasa pengap. Kami terbang sambil sesekali melihat pemandangan dibelakang kami. Hutan tempat kami tinggal telah terbakar oleh api yang begitu besar."

"Kami pergi mencari hutan yang lain tempat para sahabat burung yang lain tinggal. Mereka menerima kami dengan senang hati, tapi ternyata beberapa waktu kemudian, hutan tempat tinggal kami pun terbakar lagi, dan kami tinggal di hutan kecil dekat dengan hulu sungai" Kenang Nenek

"Kenapa tidak kembali lagi saja ke hutan kalian nek?" Tanya anak burung gereja.

"Setelah ayahku menjadi pimpinan di kelompok kami, dia bersama sahabat burung yang lain sempat kembali ke hutan kami dulu. Tapi tempat itu tidak bisa ditemukan lagi, karena sudah berubah menjadi bangunan yang mengeluarkan asap hitam. Di hutan kedua tempat pengungsian kami dulu pun sama. Ayahku dan sahabat burung lain hanya menemukan bangunan-bangunan besar yang mengeluarkan asap hitam dari atapnya." Nenek menghela nafas panjang.

"Bagaimana nenek, kakek, ibu, ayah juga paman dan bibi bisa sampai ditempat ini? Katanya kalian akhirnya tinggal di hutan dekat hulu sungai?" tanya ibu burung gereja penasaran.

"Saat kami tinggal di pinggir sungai, ternyata tempat itu sudah ditinggali oleh manusia. Dan mereka memburu kami semua. Burung perkutut, kutilang, camar, kaka tua dan sahabat burung yang lain berpisah menyelamatkan diri berusaha agar tidak di tangkap oleh manusia itu. Kami tidak tahu apa yang mereka inginkan dari kami. Mungkin kami adalah makanan bagi mereka, sehingga akhirnya kami mencari tahu hal itu. Tapi, saat melihat ke sarang mereka, sahabat kami dikurung dan disiksa dalam sarang yang lebih kecil. Sahabat kami tidak bisa terbang dengan bebas tapi dipaksa untuk bernyanyi. Pernah juga kami melihat, para manusia itu menyiksa dengan mencabuti bulu sahabat kami untuk membuat hiasan." Kini kakek yang bercerita.

"Sejak saat itu kami para burung terpecah dan hidup hanya dengan para keluarga kita. Dulu, para burung gereja yakin, dengan berpindah-pindah tempat kita akan bisa mempertahankan hidup keluarga kita. Tapi karena sudah tidak ada lagi hutan, maka kita terpaksa tinggal diatas sarang manusia ini. Setidaknya ini lebih aman. Kami berpikir, tidak akan mungkin ada kebakaran besar lagi bila kita tinggal disarang manusia." Jelas nenek.

Krak,,krak,, bunyi telur-telur yang menetas. Ibu burung gereja makin mendekati bayi-bayi burung gereja yang baru saja keluar dari telur-telur itu dan menciumi mereka satu persatu.

"Wah, akhirnya menetas" ujar anak-anak burung gereja yang sudah dewasa dengan penuh rasa bahagia. Seakan sudah melupakan cerita tentang asal mula mereka tinggal yang tinggal cerita, anak-anak burung gereja itu mengelilingi adik-adik bayi burung itu sambil membersihkan bulu-bulu mereka dari sisa kerak telur yang menempel.

"Selamat ya Nak, semoga kalian mendapatkan kehidupan yang lebih nyaman dan aman dari yang telah kami alami ini." Ujar nenek burung gereja pada anaknya.

"Terimakasih Bu." Ujar ibu burung gereja sambil tersenyum bahagia. Didalam loteng atap rumah kini para burung gereja itu berkumpul mensyukuri kehadiran para bayi yang baru saja akan memulai perjalanan hidupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun