"Dulu, disaat kita para burung gereja masih hidup di hutan belantara, hutan di pagi hari selalu menyisakan embun dari kabut yang sendu, membuat udara hutan masih terasa lembab. Seluruh tanah yang ditumbuhi pohon-pohon besar, memiliki daun lebat menutupi langit, yang selalu dan seakan menantikan matahari mengeringkan sisa embun di waktu subuh. Di beberapa dahan pohon, terlihat sarang-sarang burung pipit, perkutut, burung kaka tua, camar dan juga jenis burung lain dengan bulu yang indah serta suaranya yang merdu. Semua burung-burung itu adalah sahabat kita." Kenangnya dan mulai terdiam.
"Kalau begitu kita juga harus pergi ke hutan seperti burung perkutut dan kutilang dong Nek?" tanya anak burung gereja.
Nenek burung gereja hanya tersenyum, dan terdiam.
"Benarkan kek?" Tanya anak burung gereja ke kakeknya.
"Mungkin hutan sekarang hanya tinggal nama nak." Jelas kakeknya. "Hutan kini hanya akan menjadi cerita untuk kalian. Tempat itu sudah tidak ada." Jelas kakek burung gereja pada cucunya.
"Tapi kemarin,,, kedua burung itu mencari arah hutan dan akan tinggal disana." Bantah anak burung gereja.
"Kemungkinan mereka tidak akan menemukannya." Ujar kakek burung gereja.
Anak burung gereja menunduk dan bersedih mendengar penjelasan kakeknya.
"Dulu, di pagi hari, hutan mulai menjadi ramai dengan nyanyian dari burung perkutut, dan kutilang. Disambut juga dengan nyanyian dari cicitan burung kaka tua, camar serta burung yang lainnya. Tidak ada hari yang terlewat tanpa nyanyian para sahabat kita itu." Lanjut nenek bercerita.
Anak burung gereja mendengar cerita nenek lagi. Ibu burung gereja pun yang sedang berjaga di depan telur-telurnya ikut mendengarkan cerita nenek.
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat kita Bu?" tanya ibu burung gereja penasaran. Dia tidak pernah tahu mengenai hutan yang merupakan asal ibu dan ayahnya tinggal.