"Suatu hari, saat matahari baru ingin menampakkan cahayanya disela-sela dedaunan yang lebat, saat suasana hutan masih berkabut, para binatang berkaki empat berlarian membuat keributan di bawah sarang kita. Mereka berhamburan seperti menghindar dari sesuatu yang buruk." Nenek menghentikan ceritanya, mengingat yang saat itu terjadi.
"Kakek dari ayahku, keluar dari sarang kami untuk melihat keadaan, dan saat kembali, dia menyuruh kami semua untuk terbang meninggalkan sarang. Satupun dari kami tidak ada yang membantah. Aku yang mengikuti ibuku keluar sarang melihat sahabat-sahabat kami sudah terbang berkelompok meninggalkan sarang mereka." Ujar nenek.
"Saat itu, udara hutan tidak seperti biasanya, begitu panas dan penuh dengan kabut hitam yang membuat rasa pengap. Kami terbang sambil sesekali melihat pemandangan dibelakang kami. Hutan tempat kami tinggal telah terbakar oleh api yang begitu besar."
"Kami pergi mencari hutan yang lain tempat para sahabat burung yang lain tinggal. Mereka menerima kami dengan senang hati, tapi ternyata beberapa waktu kemudian, hutan tempat tinggal kami pun terbakar lagi, dan kami tinggal di hutan kecil dekat dengan hulu sungai" Kenang Nenek
"Kenapa tidak kembali lagi saja ke hutan kalian nek?" Tanya anak burung gereja.
"Setelah ayahku menjadi pimpinan di kelompok kami, dia bersama sahabat burung yang lain sempat kembali ke hutan kami dulu. Tapi tempat itu tidak bisa ditemukan lagi, karena sudah berubah menjadi bangunan yang mengeluarkan asap hitam. Di hutan kedua tempat pengungsian kami dulu pun sama. Ayahku dan sahabat burung lain hanya menemukan bangunan-bangunan besar yang mengeluarkan asap hitam dari atapnya." Nenek menghela nafas panjang.
"Bagaimana nenek, kakek, ibu, ayah juga paman dan bibi bisa sampai ditempat ini? Katanya kalian akhirnya tinggal di hutan dekat hulu sungai?" tanya ibu burung gereja penasaran.
"Saat kami tinggal di pinggir sungai, ternyata tempat itu sudah ditinggali oleh manusia. Dan mereka memburu kami semua. Burung perkutut, kutilang, camar, kaka tua dan sahabat burung yang lain berpisah menyelamatkan diri berusaha agar tidak di tangkap oleh manusia itu. Kami tidak tahu apa yang mereka inginkan dari kami. Mungkin kami adalah makanan bagi mereka, sehingga akhirnya kami mencari tahu hal itu. Tapi, saat melihat ke sarang mereka, sahabat kami dikurung dan disiksa dalam sarang yang lebih kecil. Sahabat kami tidak bisa terbang dengan bebas tapi dipaksa untuk bernyanyi. Pernah juga kami melihat, para manusia itu menyiksa dengan mencabuti bulu sahabat kami untuk membuat hiasan." Kini kakek yang bercerita.
"Sejak saat itu kami para burung terpecah dan hidup hanya dengan para keluarga kita. Dulu, para burung gereja yakin, dengan berpindah-pindah tempat kita akan bisa mempertahankan hidup keluarga kita. Tapi karena sudah tidak ada lagi hutan, maka kita terpaksa tinggal diatas sarang manusia ini. Setidaknya ini lebih aman. Kami berpikir, tidak akan mungkin ada kebakaran besar lagi bila kita tinggal disarang manusia." Jelas nenek.
Krak,,krak,, bunyi telur-telur yang menetas. Ibu burung gereja makin mendekati bayi-bayi burung gereja yang baru saja keluar dari telur-telur itu dan menciumi mereka satu persatu.
"Wah, akhirnya menetas" ujar anak-anak burung gereja yang sudah dewasa dengan penuh rasa bahagia. Seakan sudah melupakan cerita tentang asal mula mereka tinggal yang tinggal cerita, anak-anak burung gereja itu mengelilingi adik-adik bayi burung itu sambil membersihkan bulu-bulu mereka dari sisa kerak telur yang menempel.