Mohon tunggu...
Rumyanah Irvadia
Rumyanah Irvadia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Merupakan Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional, memiliki ketertarikan terhadap budaya dan adat jawa, dan aktif mengikuti kegiatan kepemudaan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembentukan Aliansi AUKUS serta Kaitannya dengan Teori Neo-Realisme

9 November 2022   15:00 Diperbarui: 9 November 2022   14:59 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pembentukan Aliansi AUKUS serta kaitannya dengan Konsep Neo-Realisme.

Hubungan-Hubungan kerjasama antar negara didunia biasanya terjalin atas dasar tujuan yang sama, kepentingan yang sejalan, ataupun hal-hal lain yang berkaitan sehingga menciptakan kerjasama tersebut. Baik dilakukan secara Bilateral,Trilatelar maupun Multilateral. Seperti yang akan kita bahas pada tulisan ini mengenai Aliansi AUKUS yang termasuk pada kerjasama Multilateral.

AUKUS adalah aliansi antara Australia, United Kingdom dan United States of America. Aliansi ini terbentuk pada 15 September 2021 melalui adanya konferensi pers antara ketiga negara tersebut dan dimumkan, oleh Presiden Amerika Serikat “Joe Biden”, Perdana Menteri Inggris “Boris Johnson”, dan Perdana Menteri Australia “Scott Morrison” atas terbentuknya aliansi AUKUS.

 Hal yang mendasari terbentuknya AUKUS adalah karena Tiongkok pada tahun 1990-an hingga beberapa waktu lalu secara masif telah melakukan perluasan wilayah melalui klaim kepemilikan wilayah secara sepihak di Laut Tiongkok selatan Selatan menggunakan sembilan garis putus-putus (nine dashed line) yang melaluinya Cina terlibat dalam sengketa wilayah dengan beberapa negara Asia Tenggara yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam. 

Selain negara-negara yang beririsan dengan Laut Tiongkok Selatan, terdapat juga pihak eksternal seperti Amerika Serikat, Jepang dan India memiliki kepentingan terhadap kawasan tersebut dan berakhir dengan upaya intervensi dalam konflik yang ada. Dengan adanya klaim Tiongkok pada Laut Tiongkok Selatan dengan pendekatan konvergensi sipil-militer dan demi kepentingan nasionalnya mengakibatkan stabilitas kawasan IndoPasifik semakin memanas dan tidak stabil. 

Meskipun banyak negara memiliki penilaian bahwa klaim Tiongkok atas wilayah Laut Tiongkok Selatan berdasar pada fakta historis tidak bisa dibenarkan. Sejak Tiongkok melancarkan agresivitasnya di Laut Tiongkok Selatan, negara-negara ASEAN  sesungguhnya tidak pernah memiliki sikap bersama terhadap konflik Laut Tiongkok Selatan ini karena masing-masing negara memiliki kepentingannya sendiri. Jika Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Indonesia sebagai disputing state secara nyata bersikap menentang nine-dashed line Tiongkok, namun Brunei Darussalam dan Kamboja menunjukkan sikap pasif terhadap Tiogkok. 

Hal ini kemudian diketahui karena Brunei Darussalam dan Kamboja memiliki ketergantungan ekonomi terhadap Tiongkok. Hal ini berlatar belakang serupa dengan sikap Filipina yang dilatarbelakangi kedekatan dengan Amerika Serikat. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan sikap bersama dan multilateralisme ASEAN dalam menyikapi ketegangan antara AUKUS dan Tiongkok menjadi sulit diwujudkan karena sesungguhnya negara-negara ASEAN memiliki preferensi dan kepentingan nasional masing-masing.

Laut Tiongkok Selatan merupakan wilayah perairan dengan potensi yang sangat melimpah pada sumber daya alam hayati dan non hayati, serta pendukung bagi upaya pengembangan di bidang ekonomi, bidang politik dan bidang keamanan khususnya militer, dimana akhirnya menjadikannya sebagai objek strategis bagi negara-negara yang lokasinya beririsan dan berbatasan dengan kawasan ini. Melalui risetnya, Tiongkok memaparkan secara yakin bahwa terkandung cadangan minyak 10 kali lipat melebihi kepunyaan Negara  Amerika Serikat yang terdapat dalam kawasan tersebut atau sekitar 213 miliar barel. 

Pernyataan ini jelas Menandakan bahwa kekayaan laut dari Laut Tiongkok Selatan sangatlah potensial tidak hanya pada segi hasil laut tetapi juga pertambangan offshore. Sementara Amerika melalui Energy Information Administration (EIA) melalui surveinya mengemukakan bahwa terdapat kandungan 11 miliar barel minyak beserta 190 hingga 900 triliun kaki kubik gas alam di kawasan Laut Tiongkok Selatan atau setara dengan cadangan minyak milik Qatar.

Agenda utama dari pakta pertahanan tritateral AUKUS adalah penguatan kerja sama militer antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat (AS) yang bertujuan guna menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik dengan berfokus pada pengembangan industri dan teknologi militer, khususnya dalam hal pengembangan kapal selam tenaga nuklir. 

Melalui teknologi tersebut Australia akan memiliki kapal selam anti deteksi yang dapat melaju jauh lebih cepat dari kapal selam konvensional, menyelam selama berbulan-bulan, dan menembakkan misil dengan jarak yang lebih jauh. Proyek kapal selam tersebut merupakan titik krusial dari tujuan ketiga negara dalam pertukaran informasi dan teknologi dalam sejumlah bidang seperti teknologi kuantum, intelejen dan pengadaan misil jelajah. 

Pada April 2022 lalu AUKUS juga akan merambah ke Senjata Hipersonik , Amerika Serikat dan Australia telah memiliki program senjata hipersonik yang disebut SCIFiRE atau singkatan dari Southern Cross Integrated Flight Research Experiment. Ini adalah merupakan pengembangan rudal hipersonik, yang bergerak dengan kecepatan lima kali kecepatan suara. Pejabat Inggris mengatakan, meskipun Inggris tidak akan bergabung dengan program senjata hipersonik pada saat ini, ketiga negara akan bekerja sama dalam penelitian dan pengembangan untuk memperluas pilihan yang ada.

Indo-Pasifik sebagai kawasan strategis telah menjadi bagian dari penting dari objektif negara-negara lain seperti Eropa. Dengan iklim geopolitik kawasan yang makin tidak stabil, hal ini tentunya akan berdampak pada dinamika politik domestik negara-negara di Indo-Pasifik, belum lagi dengan isu persaingan senjata dan dilanggarnya perjanjian nonproliferasi. Perjanjian non-proliferasi ini mengatur bahwasanya hanya negara-negara bersenjata nuklir yang diberikan izin untuk pengayaan uranium pada nuklir. Dengan kemitraan AUKUS yang bertujuan untuk menjaga kesejahteraan dan keamanan di kawasan Indo-Pasifik, hal ini justru menjadi kontradiktif dengan respon beragam yang diterima dari berbagai pihak.

Dalam konteks geopolitik kawasan Indo-Pasifik, meskipun menurut Australia, Inggris, dan Amerika Serikat dalam pernyataan resminya berkomitmen untuk menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik, Tetapi pengembangan teknologi kapal selam bertenaga nuklir yang dilakukan oleh Australia, Inggris, dan Amerika Serikat melalui pakta pertahanan tritateral AUKUS justru sebaliknya berpotensi menjadi ancaman stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik. 

Hal ini dapat dianalisis karena kepemilikan kapal selam nuklir oleh Australia yang ditopang oleh AS serta Inggris (sekutu lama Amerika Serikat) merupakan bentuk penyeimbangan kekuatan Amerika Serikat terhadap Tiongkok. Adapun penyeimbangan kekuatan tersebut merupakan respon politik Amerika Serikat terhadap Tiongkok yang dilakukan dengan cara mempersenjatai dan melengkapi Australia, yang dalam hal ini memiliki letak geografis di kawasan Indo-Pasifik dan dekat dengan kawasan Laut Tiongkok Selatan, dengan kapal selam bertenaga nuklir sebagai bentuk antisipasi terhadap possibility of war yang dapat terjadi sewaktu-waktu, sebagai dampak dari agresivitas Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan yang disertai dengan peningkatan kekuatan militer RRC yang semakin masif, dimana hal tersebut menjadi ancaman terhadap kepentingan AS di kawasan Indo-Pasifik. Dalam suatu kawasan bahkan dipenuhi oleh beberapa hal seperti aliansi negara lain hingga muncul external power, lalu perimbangan kekuatan antar negara. 

Sebenarnya dalam hubungan suatu negara di satu kawasan menimbulkan dua hal yaitu amity dan enmity. Amity yang dimaksud merupakan hubungan antar negara dari pertemanan biasa menjadi lebih baik dan dekat antar negara serta pada akhrinya dapat dukungan dan perlindungan dalam keamanan. Sementara enmity hubungan antar negara dikawasan didasari atas kecurigaan antar negara-negara khususnya dikawasan tersebut.

Keterkaitannya dengan Neo-Realisme.

Neo-Realisme atau realisme struktural adalah teori hubungan internasional yang dicetuskan oleh Kenneth Waltz tahun 1979 dalam bukunya, Theory of International Politics. Jika pada Realisme aktor yang menjadi kunci utama dalam sistem internasional adalah negara bangsa (Nation-State). Maka dalam Neo-Realisme aktornya adalah sistem itu sendiri. Neo-Realisme memilih untuk melihat kondisi sistemik dan structural yang mendorong perilaku negara.

Secara teoretis, sikap AS tersebut sesuai dengan salah satu teori dalam paradigma Neo-Realisme pada studi ilmu hubungan internasional, yaitu “Balance of power”. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa pada dasarnya balance of power merupakan bentuk upaya penyeimbangan kekuatan (power) yang dilakukan oleh suatu negara atau kelompok negara dengan cara melakukan kerja sama dengan negara/kelompok negara lain untuk menghadapi negara atau kelompok negara lain yang menjadi ancaman, yang dengan demikian dapat menciptakan stabilitas dan perdamaian

Secara Perkembangan Neo-Realisme Tiongkok bahkan mengeluarkan kebijakan-kebijakan ofensif atas klaimnya terhadap Laut Tiongkok Selatan ini, salah satunya adalah meluncurkan medium-range ballistic missile HQ-9 ke kepulauan Woody yang merupakan wilayah sengketa pada tahun 2016. Hal ini tergolong pada Offensive Capability yang artinya menyerang dengan kapabilitas karena kegigihan Tiongkok untuk menguasai wilayah Laut Tiongkok Selatan yang seharusnya milik internasional yang tidak berhak diklaim siapapun.

Keputusan Australia, United Kingdom dan United States of America untuk membentuk aliansi AUKUS ini berbanding lurus dengan paradigma Offensive Intentions atau Keingintahuan yang memicu kecurigaan dan Geographic Proximity yaitu Semakin dekat jarak antar negara maka semakin besar potensi ancamannya. Offensive Intentions hal ini berdasarkan langkah-langkah yang telah dilakukan Tiongkok menjadikan negara-negara lain yang terlibat menduga-duga langkah selanjutnya yang akan dilakukan Tiongkok atas eksistensi Laut Tiongkok Selatan, yang artinya AUKUS ini adalah bentuk antisipasi dampak terburuk dari hegemoni Tiongkok di wilayah Laut Tiongkok Selatan. Optimisme Tiongkok dan kegigihannya dalam klaim Laut Tiongkok Selatan juga sangat diperhitungkan. Lalu Geographic Proximity ini bersesuaian dengan letak geografis Autralia yang beririsan dengan Laut Tiongkok selatan akan sangat berpotensi untuk menerima serangan ataupun menerima ancaman dari Tiongkok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun