Pada April 2022 lalu AUKUS juga akan merambah ke Senjata Hipersonik , Amerika Serikat dan Australia telah memiliki program senjata hipersonik yang disebut SCIFiRE atau singkatan dari Southern Cross Integrated Flight Research Experiment. Ini adalah merupakan pengembangan rudal hipersonik, yang bergerak dengan kecepatan lima kali kecepatan suara. Pejabat Inggris mengatakan, meskipun Inggris tidak akan bergabung dengan program senjata hipersonik pada saat ini, ketiga negara akan bekerja sama dalam penelitian dan pengembangan untuk memperluas pilihan yang ada.
Indo-Pasifik sebagai kawasan strategis telah menjadi bagian dari penting dari objektif negara-negara lain seperti Eropa. Dengan iklim geopolitik kawasan yang makin tidak stabil, hal ini tentunya akan berdampak pada dinamika politik domestik negara-negara di Indo-Pasifik, belum lagi dengan isu persaingan senjata dan dilanggarnya perjanjian nonproliferasi. Perjanjian non-proliferasi ini mengatur bahwasanya hanya negara-negara bersenjata nuklir yang diberikan izin untuk pengayaan uranium pada nuklir. Dengan kemitraan AUKUS yang bertujuan untuk menjaga kesejahteraan dan keamanan di kawasan Indo-Pasifik, hal ini justru menjadi kontradiktif dengan respon beragam yang diterima dari berbagai pihak.
Dalam konteks geopolitik kawasan Indo-Pasifik, meskipun menurut Australia, Inggris, dan Amerika Serikat dalam pernyataan resminya berkomitmen untuk menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik, Tetapi pengembangan teknologi kapal selam bertenaga nuklir yang dilakukan oleh Australia, Inggris, dan Amerika Serikat melalui pakta pertahanan tritateral AUKUS justru sebaliknya berpotensi menjadi ancaman stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik.
Hal ini dapat dianalisis karena kepemilikan kapal selam nuklir oleh Australia yang ditopang oleh AS serta Inggris (sekutu lama Amerika Serikat) merupakan bentuk penyeimbangan kekuatan Amerika Serikat terhadap Tiongkok. Adapun penyeimbangan kekuatan tersebut merupakan respon politik Amerika Serikat terhadap Tiongkok yang dilakukan dengan cara mempersenjatai dan melengkapi Australia, yang dalam hal ini memiliki letak geografis di kawasan Indo-Pasifik dan dekat dengan kawasan Laut Tiongkok Selatan, dengan kapal selam bertenaga nuklir sebagai bentuk antisipasi terhadap possibility of war yang dapat terjadi sewaktu-waktu, sebagai dampak dari agresivitas Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan yang disertai dengan peningkatan kekuatan militer RRC yang semakin masif, dimana hal tersebut menjadi ancaman terhadap kepentingan AS di kawasan Indo-Pasifik. Dalam suatu kawasan bahkan dipenuhi oleh beberapa hal seperti aliansi negara lain hingga muncul external power, lalu perimbangan kekuatan antar negara.
Sebenarnya dalam hubungan suatu negara di satu kawasan menimbulkan dua hal yaitu amity dan enmity. Amity yang dimaksud merupakan hubungan antar negara dari pertemanan biasa menjadi lebih baik dan dekat antar negara serta pada akhrinya dapat dukungan dan perlindungan dalam keamanan. Sementara enmity hubungan antar negara dikawasan didasari atas kecurigaan antar negara-negara khususnya dikawasan tersebut.
Keterkaitannya dengan Neo-Realisme.
Neo-Realisme atau realisme struktural adalah teori hubungan internasional yang dicetuskan oleh Kenneth Waltz tahun 1979 dalam bukunya, Theory of International Politics. Jika pada Realisme aktor yang menjadi kunci utama dalam sistem internasional adalah negara bangsa (Nation-State). Maka dalam Neo-Realisme aktornya adalah sistem itu sendiri. Neo-Realisme memilih untuk melihat kondisi sistemik dan structural yang mendorong perilaku negara.
Secara teoretis, sikap AS tersebut sesuai dengan salah satu teori dalam paradigma Neo-Realisme pada studi ilmu hubungan internasional, yaitu “Balance of power”. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa pada dasarnya balance of power merupakan bentuk upaya penyeimbangan kekuatan (power) yang dilakukan oleh suatu negara atau kelompok negara dengan cara melakukan kerja sama dengan negara/kelompok negara lain untuk menghadapi negara atau kelompok negara lain yang menjadi ancaman, yang dengan demikian dapat menciptakan stabilitas dan perdamaian
Secara Perkembangan Neo-Realisme Tiongkok bahkan mengeluarkan kebijakan-kebijakan ofensif atas klaimnya terhadap Laut Tiongkok Selatan ini, salah satunya adalah meluncurkan medium-range ballistic missile HQ-9 ke kepulauan Woody yang merupakan wilayah sengketa pada tahun 2016. Hal ini tergolong pada Offensive Capability yang artinya menyerang dengan kapabilitas karena kegigihan Tiongkok untuk menguasai wilayah Laut Tiongkok Selatan yang seharusnya milik internasional yang tidak berhak diklaim siapapun.
Keputusan Australia, United Kingdom dan United States of America untuk membentuk aliansi AUKUS ini berbanding lurus dengan paradigma Offensive Intentions atau Keingintahuan yang memicu kecurigaan dan Geographic Proximity yaitu Semakin dekat jarak antar negara maka semakin besar potensi ancamannya. Offensive Intentions hal ini berdasarkan langkah-langkah yang telah dilakukan Tiongkok menjadikan negara-negara lain yang terlibat menduga-duga langkah selanjutnya yang akan dilakukan Tiongkok atas eksistensi Laut Tiongkok Selatan, yang artinya AUKUS ini adalah bentuk antisipasi dampak terburuk dari hegemoni Tiongkok di wilayah Laut Tiongkok Selatan. Optimisme Tiongkok dan kegigihannya dalam klaim Laut Tiongkok Selatan juga sangat diperhitungkan. Lalu Geographic Proximity ini bersesuaian dengan letak geografis Autralia yang beririsan dengan Laut Tiongkok selatan akan sangat berpotensi untuk menerima serangan ataupun menerima ancaman dari Tiongkok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H