Pembentukan Aliansi AUKUS serta kaitannya dengan Konsep Neo-Realisme.
Hubungan-Hubungan kerjasama antar negara didunia biasanya terjalin atas dasar tujuan yang sama, kepentingan yang sejalan, ataupun hal-hal lain yang berkaitan sehingga menciptakan kerjasama tersebut. Baik dilakukan secara Bilateral,Trilatelar maupun Multilateral. Seperti yang akan kita bahas pada tulisan ini mengenai Aliansi AUKUS yang termasuk pada kerjasama Multilateral.
AUKUS adalah aliansi antara Australia, United Kingdom dan United States of America. Aliansi ini terbentuk pada 15 September 2021 melalui adanya konferensi pers antara ketiga negara tersebut dan dimumkan, oleh Presiden Amerika Serikat “Joe Biden”, Perdana Menteri Inggris “Boris Johnson”, dan Perdana Menteri Australia “Scott Morrison” atas terbentuknya aliansi AUKUS.
Hal yang mendasari terbentuknya AUKUS adalah karena Tiongkok pada tahun 1990-an hingga beberapa waktu lalu secara masif telah melakukan perluasan wilayah melalui klaim kepemilikan wilayah secara sepihak di Laut Tiongkok selatan Selatan menggunakan sembilan garis putus-putus (nine dashed line) yang melaluinya Cina terlibat dalam sengketa wilayah dengan beberapa negara Asia Tenggara yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam.
Selain negara-negara yang beririsan dengan Laut Tiongkok Selatan, terdapat juga pihak eksternal seperti Amerika Serikat, Jepang dan India memiliki kepentingan terhadap kawasan tersebut dan berakhir dengan upaya intervensi dalam konflik yang ada. Dengan adanya klaim Tiongkok pada Laut Tiongkok Selatan dengan pendekatan konvergensi sipil-militer dan demi kepentingan nasionalnya mengakibatkan stabilitas kawasan IndoPasifik semakin memanas dan tidak stabil.
Meskipun banyak negara memiliki penilaian bahwa klaim Tiongkok atas wilayah Laut Tiongkok Selatan berdasar pada fakta historis tidak bisa dibenarkan. Sejak Tiongkok melancarkan agresivitasnya di Laut Tiongkok Selatan, negara-negara ASEAN sesungguhnya tidak pernah memiliki sikap bersama terhadap konflik Laut Tiongkok Selatan ini karena masing-masing negara memiliki kepentingannya sendiri. Jika Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Indonesia sebagai disputing state secara nyata bersikap menentang nine-dashed line Tiongkok, namun Brunei Darussalam dan Kamboja menunjukkan sikap pasif terhadap Tiogkok.
Hal ini kemudian diketahui karena Brunei Darussalam dan Kamboja memiliki ketergantungan ekonomi terhadap Tiongkok. Hal ini berlatar belakang serupa dengan sikap Filipina yang dilatarbelakangi kedekatan dengan Amerika Serikat. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan sikap bersama dan multilateralisme ASEAN dalam menyikapi ketegangan antara AUKUS dan Tiongkok menjadi sulit diwujudkan karena sesungguhnya negara-negara ASEAN memiliki preferensi dan kepentingan nasional masing-masing.
Laut Tiongkok Selatan merupakan wilayah perairan dengan potensi yang sangat melimpah pada sumber daya alam hayati dan non hayati, serta pendukung bagi upaya pengembangan di bidang ekonomi, bidang politik dan bidang keamanan khususnya militer, dimana akhirnya menjadikannya sebagai objek strategis bagi negara-negara yang lokasinya beririsan dan berbatasan dengan kawasan ini. Melalui risetnya, Tiongkok memaparkan secara yakin bahwa terkandung cadangan minyak 10 kali lipat melebihi kepunyaan Negara Amerika Serikat yang terdapat dalam kawasan tersebut atau sekitar 213 miliar barel.
Pernyataan ini jelas Menandakan bahwa kekayaan laut dari Laut Tiongkok Selatan sangatlah potensial tidak hanya pada segi hasil laut tetapi juga pertambangan offshore. Sementara Amerika melalui Energy Information Administration (EIA) melalui surveinya mengemukakan bahwa terdapat kandungan 11 miliar barel minyak beserta 190 hingga 900 triliun kaki kubik gas alam di kawasan Laut Tiongkok Selatan atau setara dengan cadangan minyak milik Qatar.
Agenda utama dari pakta pertahanan tritateral AUKUS adalah penguatan kerja sama militer antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat (AS) yang bertujuan guna menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik dengan berfokus pada pengembangan industri dan teknologi militer, khususnya dalam hal pengembangan kapal selam tenaga nuklir.
Melalui teknologi tersebut Australia akan memiliki kapal selam anti deteksi yang dapat melaju jauh lebih cepat dari kapal selam konvensional, menyelam selama berbulan-bulan, dan menembakkan misil dengan jarak yang lebih jauh. Proyek kapal selam tersebut merupakan titik krusial dari tujuan ketiga negara dalam pertukaran informasi dan teknologi dalam sejumlah bidang seperti teknologi kuantum, intelejen dan pengadaan misil jelajah.