Mohon tunggu...
Rumah Pena Inspirasi Sahabat
Rumah Pena Inspirasi Sahabat Mohon Tunggu... Lainnya - #Rumpies The Club# Komunitas Fiksi Kompasiana

Rumah Pena Inspirasi Sahabat ^Tempatmu berbagi inspirasi menulis fiksi bersama para sahabat^ • Kompasiana: Rumah Pena Inspirasi Sahabat • FB : Rumah Pena Inspirasi Sahabat (Rumpies The Club) • Twitter: @RumpiesClub

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Fiksi Terinspirasi Lagu RTC Favorit

28 Januari 2016   22:45 Diperbarui: 28 Januari 2016   23:28 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

"Ada apa, Sam? Cerita deh sama aku"

Suara halus itu sangat akrab di telingaku. Apalagi disaat tak ada lagi tempat menuang rasa. Curahan hatiku selalu didengarnya tanpa bosan. Dari masalah sekolah, keluarga, cinta, keuangan, sampai masalah yang sama sekali tidak penting, dia selalu mendengarnya. Bukan hanya mendengar, solusi terbaik selalu diberikannya untukku. Kadang aku menolak solusi darinya, apabila penyakit gengsi-ku muncul. Meskipun di akhir aku menyadari bahwa solusi darinya selalu tepat.

"Udah kamu tenang aja, mungkin Allah sedang menuliskan rencana terbaik buat kamu, dunia nggak kiamat gara-gara Mutia dinikahin orang, dia juga pasti sedih karena paksaan orangtuanya, bukannya dia nggak berjuang untuk kamu, tapi perjuangannya hanya mampu sampai disini ,Sam. Mungkin juga kalau kamu jadi sama dia, kalian nggak akan sebahagia waktu pacaran"

Nasehat itu berputar-putar terus di kepalaku saat hal yang aku anggap bencana terbesar terjadi, kekasih hatiku dipinang orang. Tentu saja aku tak mampu meminangnya dari awal, sebab kami dipisahkan beribu kilometer. Tuntutan study di luar negeri menjadi 'Tembok Cina' di antara hubungan kami. Aku yang tak mampu pulang, dia yang tak mampu bertahan.

Dan Sania lah yang setia menjadi 'sampah' segala isi hatiku. Gadis yang lebih tua beberapa tahun dariku ini benar-benar tahu seperti apa luar-dalam diriku. Sebab dekatnya kami bermula sejak aku mengenalnya secara tidak sengaja di suatu pesta pernikahan di kota metropolitan. Mulai bertukar nomor handhphone, hingga bertemu kembali di sosial media. Meski aku tak pernah menemuinya lagi sejak saat itu. Tapi hampir setiap hari aku menghubunginya. Hingga hari keberangkatanku tiba, dia sempat mengirim beberapa barang sebagai kenang-kenangan untuk kubawa pergi. Aku? Sama sekali tak pernah memberinya apa-apa. Aku hanya bisa merepotkan saja. Minta ini minta itu, tanpa malu, karena memang dia sudah kuanggap layaknya kakak sendiri. Dan dia? Sama sekali tak pernah ada rasa berat hati untuk membantuku. Semuanya dilakukan dengan ikhlas, tanpa pamrih.

Bahkan sehari sebelum hari pernikahanku, dia sempat mengucapkan selamat via telepon karena dia berhalangan untuk hadir. Sekaligus aku meminta padanya agar tak menghubungiku lagi. Karena istriku seorang pencemburu. Seperti biasa, meski kudengar nada sedih dari suaranya, dia selalu mengiyakan permintaanku. Aku pun turut sedih, tapi aku segera melupakannya sejak akad nikahku berlangsung. Istriku? Dia anak pamanku sendiri. Orangtua kami yang menjodohkan sejak kepulanganku. Tentu aku sangat galau waktu itu, tapi ada Sania yang selalu mendengarkan kegalauanku, menasehati, menguatkan hatiku hingga aku mantap untuk menerima perjodohan ini. Tanpanya, mungkin aku akan menjadi anak durhaka sebab menentang orangtua.

Tak kusangka pernikahan ini tak berjalan seperti yang kami harapkan. Sebab istriku tak bisa memberi cucu untuk orangtuanya, aku yang disalahkan. Terang saja orangtuaku marah. Saling caci dan saling hina, hingga mereka lupa bahwa mereka adalah saudara. Akhirnya aku dipaksa menceraikan istriku. Tak kusangka mereka yang dulu menjodohkan, kini mereka juga yang memaksa kami untuk berpisah. Kembali karena desakan orangtua dan mertua - yang tentu adalah pamanku sendiri - , pengadilan agama menjadi tujuan akhir kami, sejak 4 tahun bermula dari pelaminan.

Di saat yang sama, beberapa mitra kerjaku memutuskan hubungan. Itu menyebabkan usahaku bangkrut. Sehingga aku bekerja serabutan demi melunasi hutang-hutangku. Kembali aku tinggal di rumah orangtua, dengan menanggung rasa malu yang sangat.

Hingga di suatu malam, saat aku menangisi nasibku, di atas sajadah lusuh, handhphone-ku berdering. Tampak nama yang sudah sangat lama aku tak melihatnya, muncul kembali. Aku memang tak pernah menghapus nomor itu, tapi aku tak pernah melihatnya lagi sejak aku hidup bersama istriku. Ya, itu Sania.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun