Minim perintah
AKU bukan anak pertama, tapi anak laki-laki yang pertama. Adiku pas dibawahku, juga perempuan. Jadi aku sempat jadi anak kesayangan he he .... Tapi kemudian terlahir lagi dua adiku, semuanya laki-laki. Orang di desa jaman dulu memang umumnya anaknya banyak.
   Walupun aku anak kesayangn boleh dikata, tapi bukan berarti dimanja. Dimarahi, di cambuk, di jewer dan di " slenthik " telinganya, pernah juga. Anehnya pula ( menurut pikiranku kala itu ) kalau aku berselisih dengan anak orang lain, justru aku yang kena marah ayahku. Pernah aku dibuly oleh anak yang jauh lebih gede, mainanku dicurangi. Tentu aku nangis dan menuntut dikembalikan mainanku itu, tapi justru aku yang dimarahi dan disalahkan ayahku. Pikiran kecilku pun kalaitu protes, kok malah aku yang dimarahi ?
   Satu hal yang sangat menonjol dari sifat ayahku adalah minim main perintah. Memerintah ya pernah, cuma sesekali saja. Pernah aku sampai kebingungan, waktu itu aku sudah beranjak remaja. Setamat s m p memang aku lebih banyak tidak dirumah, karena kost dikota untuk sekolah. Tapi saat libur panjang kan tetap banyak dirumah. Tapi ayahku tidak pernah menyuruh aku atau mengajak aku pergi kesawah. Aku sampai bingung, mau ikut enggak diajak atau disuruh atau diminta. Kalau nekad mau ikut, nggak tahu apa yang harus dibawa, apa yang nanti harus dikerjakan dan bagaimana caranya. Nggak ikut ke sawah, nggak enak juga di rumah, masa' orang tua kerja keras aku ongkang-ongkang dirumah. Akhirnya dengan segala " kekikukannya "aku nguntit dibelajaang ayah pergi kesawah. Jalan kaki. Sepanjang jalan pun ayah juga diam saja. Disawahpun ayah juga diam saja. Tapi bukan karena marahan ya. Gemana aku kerja, ya terpaksa sambil liat-liat ayah saja, sambil dikira-kira kayaknya begini caranya.
   Jadi jangan harap ya, misal kerja bareng ayah, baik di rumah atau disawah akan ada obrolan ringan disela-selanya. Pokoknya ya diem-dieman gitu. Dan ayahku kalau kerja sendiri, artinya tidak memperkerjakan orang lain, tak ada waktu istirahat. Pokoknya kerja, kerja, kerja terus ... kalau sudah capek ya pulang. Kalau sawahnya dekat, dia pulang sebentar untu minum atau makan karena berangkatnya tadi  belum sarapaan, setelah itu kesawah lagi, jadi nggak ada di sawah istirahat, sambil merokok kayak orang kebanyakan. Ayahku memang beda.
Tahu Firasat ?
KINI ayahku sudah tiada, sudah hampir sepuluh tahun yang lalu. Yang aku sayangkan, saat ayah menghembuskan nafas terakhir, aku tidak disampingnya. Bukan karena aku tidak ada disitu sebenarnya. Ketika ayahku sudah sakit berat, aku sering mampir kesitu setelah pulang kerja. Saat itu pun aku juga mampir ketempat ayah seperti biasa. Saat itu ayah dalam kondisi kritis. Saudara lain yang ada disitu, berpikirnya medis. Maka aku yang disuruh memanggil pak mantri kesehatan. Rumah pak mantri sebenarnya juga tidak jauh, tidak ada satu kilometer. Tapi justru disaat aku pergi ke rumah pak mantri, ayahku saat itu juga pergi menghadap ilahi. Kertika aku pulang dari rumah pak mantri, ayah sudah tiada. Hatiku merasa terpukul sekali.
   Tapi yang aneh dari ayahku, seakan dia tahu akan kematiannya. Orang jawa bilang " weruh sedurunge winarah ". Jauh sebelum waktu meninggalnya, dan ayahku waktu itu juga masih sehat, belum sakit-sakitan. Dia berbicara khusus empat mata dengan adiku si bungsu, karena dialah yang hidup bersama. Ayahku berbicara tentang pembagian tanah sawah untuk warisan. Pembagiannya pun " awangan " tanpa corat-caret di kertas. Ayahku bilang misal sawah disana luasnya segini, untuk si A dan seterusnya sampai detil, missal sawah yang dilokasi sana hanya segini luasnya maka ditambah dengan sawah yang dilokasi lainnya. Nah, diam-diam oleh adiku direkam pake ha-pe, jadi cerdik juga.
   Tentu saja hal itu baru diketahui oleh kami semua -- kecuali adikku itu -- setelah beberapa lama kemudian , ketika kami keluarga besar berkumpul untuk membicarakan warisan. Adiku tinggal putar rekamannya saja. Karena sudah ada " juklaknya " ya kami enak saja melaksanakannya. Apa lagi diantara kami semua juga bersikap " nrima ing pandum " , jadi berapapun dapatnya dan kebetulaan dapat bagian tempat yang manapun, taka da yang rebut-ribut protes. Betapa bijaksananya ayah, semoga juga tenang dialam sana. Amiin !