Mohon tunggu...
Ruminto
Ruminto Mohon Tunggu... Back to Nature

Senang membaca dan menulis, menikmati musik pop sweet, nonton film atau drama yang humanistik dan film dokumenter dan senang menikmati alam.

Selanjutnya

Tutup

Music

Lagu " Ayah " Koes Plus ; Mengenangkan dan Merindukan

8 Agustus 2024   22:14 Diperbarui: 8 Agustus 2024   22:22 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
radio jadul peninggalan masa lalu ( dok.pribadi )

DALAM musik pop kita, kita mengenal ada beberapa lagu pop yang bertemakan tentang  " ayah ". Ayah, dalam Bahasa Jawa, berarti " Rama " atau " bapak " kalau dalam Bahasa Indonesia. Cuma dalam budaya Jawa, sebutan " rama " itu boleh dibilang untuk status sosial rendah, sedang bagi kalangan masyarakat dengan status sosial menengah keatas, panggilannya adalah " bapak ". Pasangan rama adalah " biyung ", sedang pasangannya bapak adalah ibu.

     Tapi, karena adanya pengaruh dinamika sosial, mulai terjadi sedikit perubahan, dimana panggilan " rama " sudah banyak berkurang, banyak yang beralih ke bapak , namun lucunya bukan disandingkan dengan panggilan ibu,melainkan " emak "atau " mamak ". Jadi sebutan " biyung " pun berkurang, tapi untuk berganti ke " ibu " agaknya masih terlalu tinggi. Sisi lain panggila " rama " yang masih bertahan namun eklusif, yaitu untuk menghormati tokoh atau guru spiritual, missal " Rama Kyai ", atau pastur kadang juga disebut rama. Seperti Rama Mangun Wijaya, budayawan dari Yogyakarta dulu.

MPL = Musik Pelepas Lelah

PERTENGAHAN tahun 70-an,yaitu sekitar tahun 75-76, suasana di desa benar-benar masih " virgin ", ndesa banget. Listrik belum ada. Radio hanya satu dua yang punya. Tape recorder, lebih sedkit lagi yang punya. Televisi boleh dibilang nihil. Sehingga, satu-satunya akses hiburan bagi kebanyakan orang desa , adalah radio walauoun jarang. Maka fenomena dengerin radio keroyokan rame-rame bukanlah hala neh saat itu. Tapi malah asyik pol !

     Kebetulan orang tuaku termasuk yang punya radio. Kebanyakan radio yang dimiliki oleh orang-orang desa waktu itu adalah merek Tjawang ( bacanya Cawang , ejaan lama ). Apakah ada merek radio selainnya, saat itu aku tidak tahu. Dan Tjawang itu nama apa sebenarnya juga tidak tahu, apakah nama pabriknya atau nama apa. Dalam Bahasa Jawa, tjawang ( cawang ) artinya cabang

     Nah, salah satu acara yang cukup popular kala itu adalah MPL; Musik Pelepas Lelah. Musik openingnya juga bagus banget dan khas. Aku tahu acara itu ya karena kakak kakaku terbiasa mendengarkan acara itu, aku ikut nguping. Acara musik itu disiarkan siang hari, sehabis dhuhur, saat istirahat siang selepas orang bekerja. Bila malam, sehabis maghrib, radio dipegang ayahku, sampai malam. Kadang ada tetangga yang ikut nebeng. Jadi asyik ada selingan teman duduk untuk ngobrol.

     Acar MPL ini disiarkan oleh RRI Pusat atau Jakarta. Aku ingat benar, pembawa acaranya adalah Kak Hasan As-ari oramahi dan kak Sasli Rais ( keduanya kemudian juga jadi pembaca berita di TVRi untuk acara Dunia Dalam Berita ). Oh ya,penyiar radio kala itu umumnya panggilannya adalah Kak. Kedengaran lebih akrab memang.

     Nah, diacara MPL itulah aku banyak mengenal lagu-lagu pop kala itu. Dan lagu yang paling ku suka saat itu adalah lagu " Ayah " dari Koes Plus. Waktu itu group musik Koes Plus kan lagi ngetop-ngetopnya. Lagu-lagunya easy listening. Dan lagu " Ayah " ini waktu itu juga sering diputar diacara MPL tersebut. Oh ya, waktu itu para pendengar radio, bisa minta lagu atau kirim lagu melalui kaartu pos.  Nah , bisa kebayangkan berapa lama harus menunggu dibatas waktu yang tak tertentu; kapan akan dibaca ? Dan kalau kebaca atau mengudara, wow .... seneng banget! Viral kalau jaman sekarang,

Lagu Ayah

Lagu Ayah ini, partama aku dengar atau aku temukan ya di acar MPL itu tadi, saat itu aku masih kelas V SD, berarti tahun 76. Lirik lagunya sederhana; ungkapan rasa hormat pada orang tua ; " ayah .... betapa kuagungkan/betapa kuharapkan  ", juga ungkapan rasa kekaguman yang mengharukan; " ayah ..... rambutmu tlah memutih/cermin suka dan sedih " dan juga rasa  saying terasa kehilangan; " ayah .... Waktu terus belalu / sampai ke anak cucu "

     Lagu tersebut diciptakan oleh sang pemimpin group, Tony Kuswoyo. Musik pengiringnya terkesan ringan dengan petikan  dentingan lead gitar yang dominan. Kesannya lagu seperti menari-nari diatas riak-riak gelombang kecil musik pengitingnya, dan " cita  rasa music " Koes Plusnya tetap kuat terasa. Lagu ini juga dibawakan kembali secara apik oleh Neo Jibles seperti biasa. Adapun lirik lengkapnya adalah sebagai berikut ;

Ayah ....

Betapa kuagungkan

Betapa kuharapkan

Ayah ,,,,

Betapa kau berpesan

Betapa kau do'a kan

Ayah ....

Betapa pengalaman 

Dahulu dan sekarang

Ayah ....

Rambutmu tlah memutih

Cermin suka dan sedih

Ayah ...

Cericeratan kembali

Riwayat, yang indah waktu dahulu

Ayah ....

Kutak kan bosan mendengar

Riwayat, waktu kau muda perkasa ... ooo

Ayah ...

Kau dapat merindukan

Kau dapat mengenangkan

Ayah ...

Waktu terus berlalu

Sampai ke anak cucu

Ayahku

AYAHKU punya seorang adik,alias pamanku. Sejak kecil mereka berdua, sudah diasuh oleh orang tua angkat. Sayangnya aku tidak sempat menanyakan lebih lanjut, apakah karena ditinggal mati oleh kedua orang tuanya secara berturut-turut ? Yang kami anak-anaknya sedikit tahu, ceritanya ayah kami diasuh oleh " Kakek Gabug ". Gabug itu Bahasa jawa, yang artinya " mandul ". Kalau begitu jelas dia bukan kakek asli ayahku, sebab dia mandul, tidak punya keturunan. Dugaanku, dia masih kerabat dekat saja, alhamdulillah,Kakek Gabug ini tergolong orang berada, sehingga ayaahku dan adiknya itu tetap dapat warisan cukup juga, tidak ditelantarkan. Jadi benar-benar tulus mengasuh ayahku dan adiknya itu.

     Ayahku mengalami kehidupan masa penjajahan Jepang. Bagaimana sengsara pahit getirnya dijajah Jepang, dia pernah merasakan. Walaupun hidup di masa sulit dan dibawah asuhan orang lain, tapi ayahku sempat bersekolah juga, S R kala itu, kalau ndak salah sampai kelas tiga. Dan memang ayahku bisa baca tulis. Kalau seandainya ayahku hidup dijaman sekarang dengan bahan bacaan tersedia, boleh jadi ayahku punya hobi baca juga. Dia senang baca. Buktinya ia punya buku kuno, kertasnya sudah kekuning-kuningan, buku " Primbon ". Aku pernah buka-buka dan baca-baca tapi acak waktu aku masih kanak--kanak, karena penasaran ingin tahu, walau tidak paham isinya. Jadi kalau aku sekarang hobi baca, memang ada unsur genetiknya, dari ayah.

     Buktilain  bahwa ayahku sebenarnya senang baca, di masa masa tuanya disaat senggang, bila ada secuil koran bekas bungkus sesuatu, tergeletak, dia mau memungut dan membacanya. Begitu pula bila aku menaruh majalah bekas yang habis saya baca di atas meja diberanda depan, mau juga dia baca. Makanya kadanga saya " pancing ", taruh bacaan seadanya disitu. Dia juga bisa baca tulisan " Arab Pegon ", yaitu tulisan berbahasa jawa, tapi ditulisnya dengan huruf arab. Ini lebih susah.

     Keaahlian ayahku adalah jadi tukang kayu. Padahal dia tidak sekolah pertukangan, jadi otodidak. Cuma keahliannya itu tidak diprofesikan sekali. Peralatan juga lengkap, mulai dari peralatan yang halus atau kecil sampai dengan peralatan yang berukuran jumbo, semacam gergaji raksasa yang dioperasikan oleh dua orang secara manual. Padahal kalau diprofesikan, pasti termasuk berkelas. Keahliannya itu terutama hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan tetangga dekat atau kerabat , atau teman dekat yang lagi membangun rumah membutuhkan tenaganya.

Ayah Angkat, dari Lotre

AKU punya ayah angkat juga. Karena lotre atau undian. Ini berkaitan dengan adat budaya jawa. Misalnya, bila ada anak keccil yang sakit-sakitan, atau saudara-saudara sebelumnya selalu meninggal ketika masih orok, anak tersebut lalu di " lotre " untuk ( pura-pura ) jadi anak orang lain.

     Caranya ya seperti acara kenduri selamatan. Tapi disitu ada acara undian anak yang dilotrekan, nanti yang dapat, jadi orang tua angkat anak tersebut. Tapi perlu dicatat, ini bukan atas dasar finansial, jadi tidak dituntut untuk membiayainya. Anaknya juga tetap tinggal bersama orang tua aslinya. Tujuan dari lotre tersebut adalah untuk menjaga anak itu tetap sehat atau selamat keberlangsungan hidupnya dari gangguan. Ini hanya untuk mengakali agar si " pengganggu " tidak datang lagi, karena anak yang mau diganggu sudah jadi anak orang lain. Filosofinya begitu. Pertanyaannya, kenapa aku dulu juga dilotrekan ?

     Aku punya kakak tiga orang, semuanya perempuan, mbakyu kalau begitu. Ketika lahir lagi anak ke empat, laki-laki, pasti senanglah orang tua kami, terutama ayah. Sayangnya, anak itu tak berumur panjang. Tentu ini sangat menyedihkan hatinya. Kemudian dikaruniai anak lagi, yaitu lahirlah aku, laki-laki. Mestinya senang sekali ayahku karena diberi lagi anak laki-laki. Nah,agar saya tidak " diganggu " hidupnya, maka saya dialihkan sebagai anaknya orang lain, dengan dilotrekan itu. Jadi sipengganggu " kecele " kalau datang, anaknya sudah nggak ada kok, yang ada anaknya " orang laen ". Lucu juga ya ?

Minim perintah

AKU bukan anak pertama, tapi anak laki-laki yang pertama. Adiku pas dibawahku, juga perempuan. Jadi aku sempat jadi anak kesayangan he he .... Tapi kemudian terlahir lagi dua adiku, semuanya laki-laki. Orang di desa jaman dulu memang umumnya anaknya banyak.

     Walupun aku anak kesayangn boleh dikata, tapi bukan berarti dimanja. Dimarahi, di cambuk, di jewer dan di " slenthik " telinganya, pernah juga. Anehnya pula ( menurut pikiranku kala itu ) kalau aku berselisih dengan anak orang lain, justru aku yang kena marah ayahku. Pernah aku dibuly oleh anak yang jauh lebih gede, mainanku dicurangi. Tentu aku nangis dan menuntut dikembalikan mainanku itu, tapi justru aku yang dimarahi dan disalahkan ayahku. Pikiran kecilku pun kalaitu protes, kok malah aku yang dimarahi ?

     Satu hal yang sangat menonjol dari sifat ayahku adalah minim main perintah. Memerintah ya pernah, cuma sesekali saja. Pernah aku sampai kebingungan, waktu itu aku sudah beranjak remaja. Setamat s m p memang aku lebih banyak tidak dirumah, karena kost dikota untuk sekolah. Tapi saat libur panjang kan tetap banyak dirumah. Tapi ayahku tidak pernah menyuruh aku atau mengajak aku pergi kesawah. Aku sampai bingung, mau ikut enggak diajak atau disuruh atau diminta. Kalau nekad mau ikut, nggak tahu apa yang harus dibawa, apa yang nanti harus dikerjakan dan bagaimana caranya. Nggak ikut ke sawah, nggak enak juga di rumah, masa' orang tua kerja keras aku ongkang-ongkang dirumah. Akhirnya dengan segala " kekikukannya "aku nguntit dibelajaang ayah pergi kesawah. Jalan kaki. Sepanjang jalan pun ayah juga diam saja. Disawahpun ayah juga diam saja. Tapi bukan karena marahan ya. Gemana aku kerja, ya terpaksa sambil liat-liat ayah saja, sambil dikira-kira kayaknya begini caranya.

     Jadi jangan harap ya, misal kerja bareng ayah, baik di rumah atau disawah akan ada obrolan ringan disela-selanya. Pokoknya ya diem-dieman gitu. Dan ayahku kalau kerja sendiri, artinya tidak memperkerjakan orang lain, tak ada waktu istirahat. Pokoknya kerja, kerja, kerja terus ... kalau sudah capek ya pulang. Kalau sawahnya dekat, dia pulang sebentar untu minum atau makan karena berangkatnya tadi  belum sarapaan, setelah itu kesawah lagi, jadi nggak ada di sawah istirahat, sambil merokok kayak orang kebanyakan. Ayahku memang beda.

Tahu Firasat ?

KINI ayahku sudah tiada, sudah hampir sepuluh tahun yang lalu. Yang aku sayangkan, saat ayah menghembuskan nafas terakhir, aku tidak disampingnya. Bukan karena aku tidak ada disitu sebenarnya. Ketika ayahku sudah sakit berat, aku sering mampir kesitu setelah pulang kerja. Saat itu pun aku juga mampir ketempat ayah seperti biasa. Saat itu ayah dalam kondisi kritis. Saudara lain yang ada disitu, berpikirnya medis. Maka aku yang disuruh memanggil pak mantri kesehatan. Rumah pak mantri sebenarnya juga tidak jauh, tidak ada satu kilometer. Tapi justru disaat aku pergi ke rumah pak mantri, ayahku saat itu juga pergi menghadap ilahi. Kertika aku pulang dari rumah pak mantri, ayah sudah tiada. Hatiku merasa terpukul sekali.

     Tapi yang aneh dari ayahku, seakan dia tahu akan kematiannya. Orang jawa bilang " weruh sedurunge winarah ". Jauh sebelum waktu meninggalnya, dan ayahku waktu itu juga masih sehat, belum sakit-sakitan. Dia berbicara khusus empat mata dengan adiku si bungsu, karena dialah yang hidup bersama. Ayahku berbicara tentang pembagian tanah sawah untuk warisan. Pembagiannya pun " awangan " tanpa corat-caret di kertas. Ayahku bilang misal sawah disana luasnya segini, untuk si A dan seterusnya sampai detil, missal sawah yang dilokasi sana hanya segini luasnya maka ditambah dengan sawah yang dilokasi lainnya. Nah, diam-diam oleh adiku direkam pake ha-pe, jadi cerdik juga.

     Tentu saja hal itu baru diketahui oleh kami semua -- kecuali adikku itu -- setelah beberapa lama kemudian , ketika kami keluarga besar berkumpul untuk membicarakan warisan. Adiku tinggal putar rekamannya saja. Karena sudah ada " juklaknya " ya kami enak saja melaksanakannya. Apa lagi diantara kami semua juga bersikap " nrima ing pandum " , jadi berapapun dapatnya dan kebetulaan dapat bagian tempat yang manapun, taka da yang rebut-ribut protes. Betapa bijaksananya ayah, semoga juga tenang dialam sana. Amiin !

cover lagu ayah koes plus ( sumber; youtube )I
cover lagu ayah koes plus ( sumber; youtube )I

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun