Mohon tunggu...
Ruminto
Ruminto Mohon Tunggu... Guru - Back to Nature

Senang membaca dan menulis, menikmati musik pop sweet, nonton film atau drama yang humanistik dan film dokumenter dan senang menikmati alam.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Wisuda, Keinginan Keriangan Anak?

20 Juni 2023   09:11 Diperbarui: 20 Juni 2023   09:28 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tari Gambyong pada acara wisuda ( sumber; foto dok.pribadi )

SEPERTI biasa, waktu itu saya sedang pelajaran dengan  anak-anak didalam kelas. Terselip intermezo obrolan ringan dari anak-anak seperti ini;

     " Pak, kok ngga ada acara plesir ke Jakarta sih ?" protes seorang anak

     " Kan corona, kita masuk sekolah aja dibatasi " jawabku

    "  Rugi kami Pak !"

     Teman-temannya yang lain juga " mengamini" ramai-ramai dengan nada kecewa;

     " Iya Pak .....! "

     " Kan malah ngga mengeluarkan duit dong " ledek saya sambil senyum biar cair suasana.

     " Pak saya masuk sekolah sini biar bisa plesir ke Jakarta seperti kaka-kakak kelas sebelumnya. Kapan lagi akan plesir ke jakarta kalau nggak lewat sekolah ?"

     Terasa masgul juga hati ini mendengar cuitan anak seperti itu.

     Obrolan itu adalah nyata, bukan cerita rekaan. Mari kita pahami dari sudut pandang anak, sepertinya tidak salah juga apa yang mereka omongkan. Pergi ke Jakarta bagi sebagian anak yang punya saudara di Jakarta memang bukan hal yang tidak mungkin. Hanya saja, biasanya baru akan pergi ke Jakarta karena ada kepentingan keluarga, seperti kondangan karena sedang punya hajat. Kalau hanya karena murni " berlibur " sepertinya terlalu " ngoyoworo " sehingga susah terealisasi. Dan biasanya pula, kalau pergi ke Jakarta karena hal yang seperti itu, mereka akan lebih banyak terperangkap dirumah saja. Agak susah nampaknya mengharap " tuan rumah " untuk menjadi " " pemandu wisata " bagi saudaranya yang dari desa itu.

Kasus Kedua

WAKTU itu, rekan kami, sebagai pembina OSIS, baru saja mengadakan " meeting " dengan anak-anak sehubungan dengan acara perpisahan ( wisuda ) yang akan dilakukan besok hari. Ketika disampaikan bahwa acara " naik panggung " untuk dikalungi " shamir " oleh wali kelas, hanya perwakilan saja agar tidak memakan waktu.

     " Yaaa .............! " mereka serentak bersuara dengan nada yang kecewa sekali.

     " Masa' sih Bu, udah pada capek-capek dandan dan tiga tahun sekolah disini, tampil dipanggung sekali aja nggak boleh ! " protes seorang anak lugas dan pedas

     " Iya sih buuu ....! " teman-teman yang lain ngompori

     Itu info dari Ibu Guru rekan kami yang jadi pembina OSIS diruang guru setelah " meeting " dengan anak-anak itu tadi. Akhirnya, mau tidak mau, keputusan rapat dengan dewan guru " direvisi " untuk mengakomodir keinginan " terakhir " anak-anak. Karena terus terang saja, kami juga tidak sampai hati membuat hati anak kecewa seperti itu, pada acara yang semestinya mereka bergembira ria.

Ada yang salah ?

SETELAH menyimak dua kasus nyata tersebut, mari kita renungi sejenak, adakah yang salah pada kedua kasus tersebut ? Kasus pertama, anak-anak kecewa karena tidak ada acara study tour, sebab waktu itu memang masih corona. Masuk sekolah juga masih dibatasi baik waktunya  maupun jumlah siswanya, karena harus jaga jarak.Mereka merasa kehilangan salah satu " kesempatan terindahnya " dari masa-masa bersekolah di SMP tersebut. Dan acara wisuda, bagi mereka juga ditiadakan waktu itu. Sehinga mereka benar-benar pergi tanpa kesan meninggalkan sekolahnya

     Dan pada kasus kedua ini, dua tahun berselang setelah kasus yang pertama itu tadi, karena sudah normal, acara perpisahan atau wisuda sudah boleh dilakukan. Tapi mereka " hampir " kecewa bila tidak bisa tampil diatas panggung, walau hanya sekedar dikalungi shamir oleh guru wali kelasnya. Tapi ternyata bagi mereka itu suatu moment yang menggembirakan juga. Tak sampai hatilah kami untuk tidak menuruti keinginan mereka, mereka sudah berusaha berpenamilan semenarik mungkin.

     Kalau dilihat dari sudut perasaan dunia mereka, dunia anak, tentu tidak ada yang salah. Tapi persoalannya yang ramai dipermasalahkan oleh para orang tua adalah kaitannya dengan biaya. Baiklah, mari kita tengok masalah pembiayaan disekolah, namun ini hanya sekedar gambaran saja yang terjadi ditempat kami mengajar, jadi jangan digeneralisasikan agar tidak salah paham.

     Pertama, berkaitan dengan study tour. Ini memang butuh banyak biaya. Sekolah mengambil kebijakan, sejak kelas dua digerakan untuk menabung disekolah tiap bulannya, sehingga nanti saatnya study tour tinggal menambah kekurangannya saja jadi tidak berat sekali. Namun yang perlu diketahui juga, kegiatan ini berifat " sunah " alias suka rela, tidak memaksa yang sebelumnya sudah diedarkan angket buat orang tua mereka. Bagi orang tua yang berkeberatan, ya tidak apa-apa anaknya tidak ikut study tour ( walaupun lagi-lagi orng tua biasanya juga nggak sampai hati, tapi secara prinsip ini bukan wajib, seandainya tidak ikut juga tidak ada sanksi apapun dari sekolah ). Catatan kedua, pada study tour yang terakhir kami lakukan, biro juga punya empaty, memberikan " voucher gratis " pada empat orang anak yang tidak mampu dan anak yatim. Memang , itu mungki tidak seberapa, tapi setidak-tidaknya ada rasa kepedulian. Dan sekolah juga pernah membantu meringankan biaya pada anak yang benar-benar kurang mampu, tentu tidak semua ya.

     Untuk masalah wisuda atau perpisahan, ini ibarat sekolah sedang punya " hajat ". Mau dibuat meriah atau sederhana tidak masalah. Untuk acara perpisahan ini, siswa memang dibebani biaya, untuk perlengkapan; pasang atau sewa tarub, sewa kursi dan konsumsi untuk mereka dan orang tuanya. Sedangkan untuk acara, biaya bisa ditekan, sound sistem sekolah punya, acara hiburan di isi dari anak-anak sendiri. Adapun untuk kostum, mereka juga ditawari pilihan, mau seragam resmi OSIS atau yang lain, karena mereka ingin suasana yang beda, mereka umumnya pilih yang lain, misalnya kebaya. Ini pun tidak saklek, harus kebaya model begini. Bebas, gamis juga boeh. Seragam resmi OSIS juga pernah diterapkan. Yang namanya perayaan, sekecil apapun, biaya ya tetap tak bisa dihindari. Dan seandainya mau dibuat sederhana sekali, juga bisa.

" sepuluh Besar " tampil dipanggung  dengan " background " orang tua wali murid pada acara wisuda ( sumber; foto dok. pribadi )

" Bayar SPP ? "

BILA kegiatan study tour dan wisuda dikaitkan denga pembiayan lain disekolah sehingga memberatkan, mari kita telisik bersama tentang keuangan disekolah dan peran komite. Untuk sekolah negeri, orang tua tidak dibebani SPP anaknya, karena sudah ditanggung dengan uang BOS ( Bantuan Operasional Sekolah ), swasta " murni " juga demikian, beda ceritanya untuk swasta yang punya label khusus, misalnya fullday school, atau boarding school atau sekolah-sekolah IT. Tentu saja mereka juga di " bebani " uang pangkal, atau uang gedung atau uang pengembangan. Ini wajar saja, mereka menempati suatu tempat bary, bila kmudian diminta kontribusi biaya perawatan atau pengembangan, walaupun sekolah juga memiliki RAPBS yang nantinya diajukan ke pemerintah untuk dana pembiayaan fisik, tapi kan tidak semua aspek bisa tercover dalam RAPBS dan juga butuh waktu. Ada hal-hal yang bersifat darurat atau insidental yang harus segera ditangani, dan itu sumbernya dari uang bantuan wali murid itu tadi yang dirembug bersama dengan komite sekolah. Dan sistem pembayaran uang pengembangan ini juga dicicil, jadi tidak memberatkan. Dan " penarikan " uang pembangunan ini " diridhoi " oleh pemerintah dengan syarat; besaran nominalnya suka rela, dan dikelola oleh komite.

     Biaya les, ini bersifat personal sekali, karena sekolah tidak mewajibkan les, apa lagi berbayar. Dan perlu diketahui, sejak tidak ada Ebtanas, animo masyarakat terhadap les dan bimbel sudah jauh berkurang sekali bahkan nyaris nol. Karena untuk apa ??? Yang ada sekarang kebanyakan adalah BIMBA bagi anak-anak usia SD yang biasanya karena mereka masih kesulitan membaca dan berhitung , lalu orang tua berinisiatif untuk masuk bimbingan seperti itu. Tapi itupun bisa dihitung dengan jari. Atau sekarang banyak juga TPQ, tapi itupun atas kemauan orang tua sendiri, sudah diluar sekolah.

     Selain anak sekolah digratiskan dari SPP, pemerintah juga memberikan bantuan melalui KIP ( Kartu Indonesia Pintar ). Tapi tentu saja KIP ini tidak semua, terbatas kuota dan berdasarkan kriteria kurang mampu atau kurang sejah tera. Bahkan sekolah tidak punya hak sama sekali untuk mementukan siswanya agar dapat KIP sebab berdasarkan data dari desa, pemerintah menentukan siapa yang akan mendapatkan bantuan tersebut. Dan KIP ini bersifat bekelanjutan, artinya dari SD terus berlanjut sampai SLTA. Sedikit koreksi, kalaupun ada KETIDAK TEPATAN SASARAN, itu terletak pada kinerja perangkat desa, sebagai sumber data primer. Misal perangkat tidak meranking, asal didata saja, padahal kuota terbatas. Misalnya perangkat mengajukan data sebanyak limaratus anak, padahal kuota turun hanya sebanyak tigaratus anak, berarti dua ratus anak tersingkir, boleh jadi diantara yang dua raus anak itu ada yang lebih tidak mampu dibanding yang menerima. Kesalahan kedua, kemungkinan terletak pada praktik yang tidak benar dalam mengumpulkanndata, misal adanya kolusi karena keterdekatan dengan perangkat ( masih famili) dan itu sangat mungkin terjadi ( ingat kasus-kasus BLT pad jaman Presiden SBY dulu )

     Selain itu juga ada bantuan lain, yaitu dari BAZNAS . sekali lagi ini tentu tidak semua, tentu bagi meka yang tidak mampu. Sekolah juga mencoba pemerataan, yang sudah dapat KIP tidak direkomendasikan untuk menerima BAZNAS. Ditempat kami, guru-guru juga menyediakan infak yang dipotong dari gaji mereka secara sukarela untuk membantu anak-anak, misal ada yang sakit dan opname dirumah sakit, atau kondisi darurat lainnya. Jadi biaya pendidikan anak sekarang relatif ringan ya. Kalau untuk keperluan belajar mereka ya harus bayar, misal pelajaran prakarya untuk membuat hasta karaya ya perlu keluar duit, atau tata boga, praktik masak, tentu perlu duit juga , tapi kan tidak banyak karena bersifat kolektif dan tidak setiap  saat praktik.

     Namun sekali lagi, bila legiatan study tour dan wisuda itu memberatkan, ya boleh dimusyawarahkan untuk ditiadakan. Dan bagi sekolah itu tidak masalah, ( buktinya waktu corona dulu tidak ada kedua kegiatan tersebut dan baik-baik saja ) sebab itu memang bukan masalah yang haqiqi atau esensial sifatnya, malah mengurangi " kerepotan dan kesibukan " volume kerja bapak dan ibu guru serta karyawan. Jadi menurut saya pribadi, masalah wisuda dan study tour itu  TIDAK PERLU DIRIBUTKAN, bila tidak setuju di " delete " saja, karena itu HANYA AKSESORIS yang bila suka boleh dipakai, bila tidak suka boleh dibuang. Sederhana kan, kenapa ribut ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun