WAKTU itu, rekan kami, sebagai pembina OSIS, baru saja mengadakan " meeting " dengan anak-anak sehubungan dengan acara perpisahan ( wisuda ) yang akan dilakukan besok hari. Ketika disampaikan bahwa acara " naik panggung " untuk dikalungi " shamir " oleh wali kelas, hanya perwakilan saja agar tidak memakan waktu.
   " Yaaa .............! " mereka serentak bersuara dengan nada yang kecewa sekali.
   " Masa' sih Bu, udah pada capek-capek dandan dan tiga tahun sekolah disini, tampil dipanggung sekali aja nggak boleh ! " protes seorang anak lugas dan pedas
   " Iya sih buuu ....! " teman-teman yang lain ngompori
   Itu info dari Ibu Guru rekan kami yang jadi pembina OSIS diruang guru setelah " meeting " dengan anak-anak itu tadi. Akhirnya, mau tidak mau, keputusan rapat dengan dewan guru " direvisi " untuk mengakomodir keinginan " terakhir " anak-anak. Karena terus terang saja, kami juga tidak sampai hati membuat hati anak kecewa seperti itu, pada acara yang semestinya mereka bergembira ria.
Ada yang salah ?
SETELAH menyimak dua kasus nyata tersebut, mari kita renungi sejenak, adakah yang salah pada kedua kasus tersebut ? Kasus pertama, anak-anak kecewa karena tidak ada acara study tour, sebab waktu itu memang masih corona. Masuk sekolah juga masih dibatasi baik waktunya  maupun jumlah siswanya, karena harus jaga jarak.Mereka merasa kehilangan salah satu " kesempatan terindahnya " dari masa-masa bersekolah di SMP tersebut. Dan acara wisuda, bagi mereka juga ditiadakan waktu itu. Sehinga mereka benar-benar pergi tanpa kesan meninggalkan sekolahnya
   Dan pada kasus kedua ini, dua tahun berselang setelah kasus yang pertama itu tadi, karena sudah normal, acara perpisahan atau wisuda sudah boleh dilakukan. Tapi mereka " hampir " kecewa bila tidak bisa tampil diatas panggung, walau hanya sekedar dikalungi shamir oleh guru wali kelasnya. Tapi ternyata bagi mereka itu suatu moment yang menggembirakan juga. Tak sampai hatilah kami untuk tidak menuruti keinginan mereka, mereka sudah berusaha berpenamilan semenarik mungkin.
   Kalau dilihat dari sudut perasaan dunia mereka, dunia anak, tentu tidak ada yang salah. Tapi persoalannya yang ramai dipermasalahkan oleh para orang tua adalah kaitannya dengan biaya. Baiklah, mari kita tengok masalah pembiayaan disekolah, namun ini hanya sekedar gambaran saja yang terjadi ditempat kami mengajar, jadi jangan digeneralisasikan agar tidak salah paham.
   Pertama, berkaitan dengan study tour. Ini memang butuh banyak biaya. Sekolah mengambil kebijakan, sejak kelas dua digerakan untuk menabung disekolah tiap bulannya, sehingga nanti saatnya study tour tinggal menambah kekurangannya saja jadi tidak berat sekali. Namun yang perlu diketahui juga, kegiatan ini berifat " sunah " alias suka rela, tidak memaksa yang sebelumnya sudah diedarkan angket buat orang tua mereka. Bagi orang tua yang berkeberatan, ya tidak apa-apa anaknya tidak ikut study tour ( walaupun lagi-lagi orng tua biasanya juga nggak sampai hati, tapi secara prinsip ini bukan wajib, seandainya tidak ikut juga tidak ada sanksi apapun dari sekolah ). Catatan kedua, pada study tour yang terakhir kami lakukan, biro juga punya empaty, memberikan " voucher gratis " pada empat orang anak yang tidak mampu dan anak yatim. Memang , itu mungki tidak seberapa, tapi setidak-tidaknya ada rasa kepedulian. Dan sekolah juga pernah membantu meringankan biaya pada anak yang benar-benar kurang mampu, tentu tidak semua ya.