Hari itu, hari wisuda di perguruan tinggi dimana anak sulungku kuliah.
Hari yang sama, kebetulan, si bungsu di rumah kami berulang tahun. Dan kami merencanakan makan malam keluarga.
Makan malam ulang tahun yang digabungkan dengan syukuran wisuda.
Siapa yang wisuda? Si sulung?
Bukan. Bukan si sulung.
Tapi sahabatnya.
Iya, malam itu, ada sahabat putri sulung kami yang kami ajak bergabung makan malam dengan keluarga kami. Dia hadir bersama ibunya, yang datang dari luar kota, untuk menghadiri wisuda sang anak pada pagi harinya.
Sahabat putri sulungku itu, penerima beasiswa Bidikmisi. Gadis tangguh yang pada suatu hari dimasa kuliah mereka pernah menyebabkan putri sulungku membuat 'emergency call' padaku: " Ibu, temanku sudah puasa beberapa hari karena tidak punya uang. Beasiswanya terlambat turun sudah beberapa bulan. Dia susah sekali saat ini. Ibu dan Bapak bisa bantu?"
Benar, gadis tangguh sahabat putriku itu pernah harus menahan lapar sebab tak punya uang untuk makan.
Putri sulung kami sendiri, malam itu malah tak hadir dalam makan malam keluarga yang juga dihadiri sahabatnya yang baru wisuda itu. Sebab, putri kami ketika itu sedang berada di tempat yang jauh. Dia mendapatkan beasiswa dari sebuah lembaga internasional untuk kuliah dua semester di Inggris.
Putriku sudah lulus sidang tugas akhir saat itu. Sidang yang dijalaninya pada hari yang sama dengan sahabatnya penerima beasiswa Bidikmisi yang diceritakan di atas. Tapi seusai sidang tugas akhir, mereka lalu memilih jalur yang berbeda: putriku menambahkan dua semester ekstra di perguruan tinggi di Inggris pada masa belajarnya, untuk menempuh mata kuliah- mata kuliah tambahan yang saling melengkapi dengan apa yang pernah diperolehnya di perguruan tingginya di dalam negeri sini.Â