Ahaha.
Kami terbahak.
Aih. Jambretnya salah sasaran, rupanya. Yang dijambret malah tas bermerk yang aspal, sementara tas yang berisi uang tunai begitu banyak, sebab tampak sederhana dan sudah tua pula, tak disentuhnya sama sekali.
***
Kembali pada cerita tas bermerk. Percakapan itu sungguh meninggalkan kesan yang dalam pada pikiranku.
Aku sendiri tak termasuk orang yang tergila- gila pada merk. Tak termasuk orang yang bersedia membeli tas dengan harga yang tak masuk akal demi gengsi belaka. Namun, tidak juga sih, kalau sampai menggunakan tas tua yang sudah koyak disana- sini. He he.
Tapi sungguh, apa yang diceritakan oleh pemilik rumah baik hati di dapur hangat senja itu, membuatku berpikir tentang nilai- nilai hidup ini.
Nah, lihat, orang yang baik hati dan tahu betul apa prioritas hidupnya dan sudah selesai dengan dirinya sendiri, memang tak akan lagi perlu menunjukkan bahwa dia kaya raya dengan memakai barang- barang bermerk sekedar untuk simbol status.
Dia tahu bahwa semua itu semu dan tak berarti.
Dia tahu, bahwa tas mahal, atau yang pura- puranya mahal padahal KW, tak seberarti tas tua sederhana yang berisi banyak uang yang akan digunakan untuk membantu dan memajukan orang lain dalam kegiatan sosial seperti yang banyak dilakukannya. Kegiatan dan kebiasaan menyumbang yang juga dilakukan tanpa gembar- gembor. Tanpa perlu menyebarkan berita kesana kemari melalui medsos atau mengundang wartawan, sebab bukan popularitas atau pamrih yang dicarinya.
Nyumbang ya nyumbang saja. Niatnya tulus membantu. Begitu saja.