***
Jadi, bagaimana? Apakah tulisan ini maksudnya untuk mengatakan “menabung sajalah untuk pendidikan anak, jangan berinvestasi”?
Eh, bukan, lho. Jangan salah sangka.
Ceritaku tentang tabungan pendidikan itu kutuliskan karena pembuka tulisan itu adalah cerita mengenai pertanyaan yang diajukan padaku, dalam bentuk apa kusimpan dana untuk keperluan pendidikan anak- anak kami. Dan spesifik tentang hal tersebut, dana itu disimpan dalam bentuk tabungan pendidikan. Begitu, lho.
Tabungan pendidikan itu kami buka saat anak- anak kami masih bayi. Saat itu, fokus utama pengeluaran keluarga kami adalah untuk mencicil rumah. Di tahun- tahun pertama pernikahan kami, memang kami belum bisa menyisihkan uang untuk berinvestasi, he he. Maka, tabungan itulah yang kami pilih untuk mempersiapkan dana pendidikan anak- anak kami.
Kelak di kemudian hari, saat penghasilan kami meningkat, kami juga mengalokasikan dana dalam bentuk investasi. Tujuannya, lagi- lagi, simpanan jangka panjang, kalau- kalau suatu saat diperlukan untuk membiayai kuliah anak- anak kami.
Favorit kami, sama seperti kawan yang kuceritakan di awal tulisan ini, menyimpan dalam bentuk property. Tanah, atau rumah.
Kenapa?
Kembali, Karena profil kami suami istri dalam kesiapan menghadapi resiko adalah profil yang moderat saja. Kami bukan pengambil resiko tinggi. Beribu kali kami dengar kalimat ‘high risk, high gain', dan juga pernah kubaca dalam suatu buku bahwa dalam jangka panjang keuntungan dari pembelian property tak akan bisa mengalahkan keuntungan dari pembelian saham, kami berketetapan hati untuk hanya memilih investasi yang kami pahami dengan resiko yang kami siap tanggung.
Investasi dalam bentuk property, lebih mudah dicerna oleh otak kami, sebab ketika ada dana yang kami keluarkan untuk membeli, ada pula barang berbentuk fisik (kebun, rumah) yang kami terima. Sederhana saja…
***