Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memilih Investasi untuk Cadangan Dana Pendidikan Anak

18 Oktober 2016   23:00 Diperbarui: 18 Oktober 2016   23:31 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“ Wah, kami nggak punya durian lagi nih, kebun duriannya sudah dijual untuk biaya kuliah si sulung.. “

ITU kalimat yang dikatakan seorang kawan ketika kami suatu hari berkunjung ke rumahnya.

Anak pertama kawan itu memang baru masuk universitas ketika itu. Diterima di perguruan tinggi negeri melalui jalur mandiri, yang uang pangkalnya lebih mahal daripada melalui jalur reguler. Orang tuanya membayar dana yang diperlukan untuk kuliah anaknya tersebut dari penjualan tanah kebun durian yang dibicarakan itu.

Kelak ketika anak berikutnya kuliah, kawan yang sama menjual kebun lain lagi untuk membiayai kuliah anaknya.

***

Tak lengkap membicarakan urusan menyimpan dana untuk pendidikan anak tanpa membicarakan investasi.

Kalau kami suami istri memilih cara untuk menyimpan uang dalam bentuk tabungan pendidikan, kawan yang kami ceritakan ini memilih berinvestasi untuk membiayai kuliah anaknya.

Eh, bedanya apa sih, menabung dengan berinvestasi?

Bedanya, tabungan seperti yang kami pilih, jumlah akhirnya yang terkumpul akan hampir sama dengan yang kami setorkan. Sementara dalam kasus kawan kami, harga jual kebunnya jauh di atas harga beli kebun itu.

Hasil yang diperoleh, return dari investasi pembelian kebun kawan kami itu jauh di atas tabungan seperti yang kami lakukan. Tapi, resiko yang kami tanggung jauh lebih rendah. Selain itu tabungan bentuknya lebih cair daripada tanah atau bangunan. Dana dalam bentuk tabungan siap digunakan segera, sementara jika bentuknya tanah atau bangunan, akan membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk menjualnya.

Nah, jadi pilihan tentang bagaimana cara menyimpan dan menyediakan dana untuk kepentingan pendidikan anak harus dikembalikan pada hal yang mendasar lagi: Pilih produk yang sesuai, bisa dipahami cara perhitungannya dan tingkat resikonya sanggup kita tanggung.

***

Jadi, bagaimana? Apakah tulisan ini maksudnya untuk mengatakan “menabung sajalah untuk pendidikan anak, jangan berinvestasi”?

Eh, bukan, lho. Jangan salah sangka.

Ceritaku tentang tabungan pendidikan itu kutuliskan karena pembuka tulisan itu adalah cerita mengenai pertanyaan yang diajukan padaku, dalam bentuk apa kusimpan dana untuk keperluan pendidikan anak- anak kami. Dan spesifik tentang hal tersebut, dana itu disimpan dalam bentuk tabungan pendidikan. Begitu, lho.

Tabungan pendidikan itu kami buka saat anak- anak kami masih bayi. Saat itu, fokus utama pengeluaran keluarga kami adalah untuk mencicil rumah. Di tahun- tahun pertama pernikahan kami, memang kami belum bisa menyisihkan uang untuk berinvestasi, he he. Maka, tabungan itulah yang kami pilih untuk mempersiapkan dana pendidikan anak- anak kami.

Kelak di kemudian hari, saat penghasilan kami meningkat, kami juga mengalokasikan dana dalam bentuk investasi. Tujuannya, lagi- lagi, simpanan jangka panjang, kalau- kalau suatu saat diperlukan untuk membiayai kuliah anak- anak kami.

Favorit kami, sama seperti kawan yang kuceritakan di awal tulisan ini, menyimpan dalam bentuk property. Tanah, atau rumah.

Kenapa?

Kembali, Karena profil kami suami istri dalam kesiapan menghadapi resiko adalah profil yang moderat saja. Kami bukan pengambil resiko tinggi. Beribu kali kami dengar kalimat ‘high risk, high gain', dan juga pernah kubaca dalam suatu buku bahwa dalam jangka panjang keuntungan dari pembelian property tak akan bisa mengalahkan keuntungan dari pembelian saham, kami berketetapan hati untuk hanya memilih investasi yang kami pahami dengan resiko yang kami siap tanggung.

Investasi dalam bentuk property, lebih mudah dicerna oleh otak kami, sebab ketika ada dana yang kami keluarkan untuk membeli, ada pula barang berbentuk fisik (kebun, rumah) yang kami terima. Sederhana saja…

***

Lalu, tak berminatkah kami mencoba berinvestasi dalam bentuk lain?

Oh, kami pernah mencoba juga, koq. Tapi tetap dengan berpegang pada rumus tentang tingkat resiko yang bersedia kami tanggung itu. Sebab bagaimanapun, investasi dalam bentuk apapun akan mengandung resiko.

Selain property, kami juga mencoba berinvestasi dalam bentuk reksadana. Ada yang bentuknya reksadana campuran, ada reksadana saham yang resikonya lebih tinggi. Tapi, jumlah dana yang kami investasikan dalam bentuk ini tak banyak. Dan secara mental kami bersiap- siap “melupakan” dana tersebut. Ini jumlah dana yang betul- betul if worse come to worst, kami tak akan panik jika jumlahnya berkurang sebab harga pasar reksadana itu turun dan dananya juga tak kami butuhkan dalam jangka pendek.

Sejauh ini, investasi yang kami lakukan belum perlu kami gunakan. Alhamdulillah, tabungan pendidikan anak- anak, ditambah tambahan sedikit dari kantong lain, selama ini cukup untuk membiayai sekolah dan kuliah anak- anak kami di jenjang S-1. Entah kelak di kemudian hari, mungkin dana dari investasi itu akan diperlukan jika anak- anak kami ingin melanjutkan kuliah ke jenjang pasca sarjana (walaupun aku sendiri berdoa semoga anak- anak kami bisa kuliah di jenjang selanjutnya dengan beasiswa, he he, tapi kan belum tahu juga ya, nanti akhirnya bagaimana.. )

***

Eh ya, satu lagi. Kita semua tahu, biaya hidup meningkat terus. Jadi, bagaimana mengatur agar bisa menyisihkan dana untuk investasi?

Jawabannya klasik: hidup hemat, sesuai kebutuhan saja, tak berlebihan.

Kami sekeluarga bukan jenis orang yang mementingkan tampilan luar atau gengsi. Kami bukan keluarga yang heboh dan penggila barang- barang branded. Nyantai aja, lagi.. he he, nilai dan harkat seseorang kan tidak dinilai dari barang- barang yang digunakannya?

Kami berusaha disiplin. Jika ada peningkatan penghasilan, maka pola konsumsi kami tidak akan naik sebesar kenaikan penghasilan tersebut. Misalnya kami memperoleh kenaikan penghasilan Rp. 500,- maka hanya sebagian dari Rp. 500,- itu saja yang kami gunakan untuk konsumsi. Sebagian lagi, ya disisihkan untuk investasi jangka panjang yang diceritakan di atas itu.

Kami suami istri tidak punya tujuan hidup yang neko- neko dalam hal kebendaan. Tak muluk- muluk keinginan kami. Tapi kami memang ingin anak- anak kami ( semoga Allah mengijinkan) sekolah tinggi. Maka mengatur dana pendidikan bagi anak- anak memang merupakan prioritas dalam pengelolaan keuangan keluarga kami.

Cara yang kami lakukan adalah seperti yang kuceritakan dalam rangkaian tiga buah tulisan tentang bagaimana cara menyimpan dana pendidikan ini.

***

Nah, sudah ya, buka- bukaan ‘rahasia dapur’-nya diakhiri sampai disini duluuu.

Sekali lagi, jangan lupa lho yaaa.. teliti sebelum membeli, kenali dulu produknya, kenali kemampuan untuk menanggung resiko. Dan, last but not least, tujuan baik mesti dicapai dengan cara yang baik, lho. Tetaplah eling dan ajeg, untuk hanya menggunakan cara yang bersih dan baik untuk memperoleh dana ini. Jangan menggunakan cara- cara kotor yang tidak terpuji, nanti uangnya jadi tidak berkah…

p.s. Tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadi, bukan untuk lomba, dan tidak ada pesan sponsor. Dan aku ini bukan financial planner profesional, jadi kalau yang kuceritakan ini agak beda- beda dikit dengan teori, harap maklum :)

* Tulisan terkait:

- Bagaimana Mempersiapkan Dana untuk Pendidikan Anak? (Catatan Pengalaman Pribadi)

- Menyimpan Dana Pendidikan Anak: Teliti Dulu Sebelum Membeli

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun