Itu terjadi saat anak sulung kami lulus SD dan hendak masuk SMP.
Diluar rencana, anak kami itu lulus SD dalam waktu lima tahun, bukan enam tahun, sebab dia mengikuti program akselerasi. Maka, ketika dia hendak masuk SMP, tabungan pendidikannya sebetulnya belum waktunya jatuh tempo.
Waduh.
Kami datang ke bank waktu itu, menyampaikan situasi yang kami hadapi. Untunglah, tabungan itu bisa dicairkan lebih awal. Ada denda, tapi sedikit jumlahnya, tak seberapa.
Terselamatkanlah kami semua, dana untuk uang pangkal masuk SMP putri kami tersedia di tangan.
Belajar dari pengalaman tersebut, saat membuat rencana untuk adik- adiknya, kami mencadangkan dana untuk uang pangkal masuk SMP lima tahun setelah masuk SD. Jika adiknya masuk kelas akselerasi juga, dana akan tersedia saat mereka masuk SMP lima tahun setelah masuk SD, jika tidak, dana itu akan kami simpan selama setahun untuk masuk SMP tahun depannya, enam tahun setelah masuk SD. Begitu pikiran kami ketika itu.
***
Tentang tabungan kedua, yang ditaruh di buku tabungan itu, ceritanya bagaimana?
Tabungan kedua ini, kami isi dengan jumlah uang yang sebetulnya tak seberapa. Tapi kami isi dengan disiplin setiap bulan. Dan tak pernah kami sentuh, sehingga jumlahnya terjaga. Walau sedikit yang kami masukkan setiap bulan, lama- lama terkumpul juga jumlah yang lumayan.
Dulu, kami buka tabungan ini dengan pikiran jika putra- putri kami hendak masuk kuliah dan dana dari tabungan pendidikan yang pertama itu tidak cukup, kami masih punya tabungan kedua ini, untuk ditambahkan jumlahnya.
Ternyata yang terjadi, saat putri sulung dan anak kedua kami masuk kuliah, tabungan kedua ini tak perlu digunakan. Jadi, akhirnya, tabungan kedua ini kami alihkan menjadi ‘dana darurat’.