Lalu, setelah beberapa waktu aku berada disana, diantara keriuhan suara beragam alat musik yang sedang dimainkan di balik panggung itu, tiba- tiba saja terdengar suara tangis. Rupanya, ada seorang anak perempuan murid SD yang tanpa sebab yang jelas menangis. Tiba- tiba begitu saja dia terisak- isak.
Kulihat saat itu, beberapa murid SMA yang sedang duduk melingkar menoleh memperhatikan anak SD yang menangis itu. Lalu salah satu dari mereka bangkit menghampiri dan berkata, “ Dik, sini dik, duduk di sini. “
Lalu setelah anak SD itu turut duduk di lingkaran, mereka mengajaknya mengobrol sambil menawarkan makanan dan minuman. Melihat sikap mereka yang akrab pada anak SD tersebut, aku duga, murid SD itu merupakan adik salah satu dari murid- murid SMA tersebut.
Dan..
Dugaanku ternyata salah.
Sebab setelah anak tersebut reda tangisnya, salah seorang dari murid SMA itu bertanya pada murid SD tersebut, “ Dik, namanya siapa, kelas berapa ? “
Wah. Ya ampun. Jadi murid- murid SMA itu bahkan tak mengenal anak yang menangis itu. Nama dan kelasnya saja tak tahu. Tapi sedemikian terbukanya mereka, juga karena sikap empati yang terlatih, walau tak mengenalnya, saat anak tersebut menangis, mereka begitu saja merangkul anak tersebut tanpa banyak bertanya.
***
Sikap yang ditunjukkan murid- murid SMA di belakang panggung itu mengingatkan aku kembali pada hari- hari pertama si bungsu pindah ke sekolah tersebut.
Sepulang sekolah, aku dan ayahnya bertanya pada si bungsu, apa yang dia lakukan pada jam istirahat di sekolah  hari itu.
Si bungsu menjawab dengan senang, “ Aku main bola. “