Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Proses Belajar Anak itu Seperti Lari Marathon, Bukan Sprint

18 Juli 2016   17:38 Diperbarui: 24 Juli 2016   13:15 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: runmummyrun.co.uk

Belajar itu seperti marathon, bukan sprint..

Tadi aku membaca sebuah artikel dengan pernyataan dari Mendikbud, Bapak Anies Baswedan.

"Bapak ibu, saya mau pesan, anak-anak ini baru masuk SD. Sekolah itu seperti maraton, maraton panjang, anak kita jangan dibuat seperti sprint. Kalau lari sprint itu cuma 100 meter," katanya.

Mendikbud, pada intinya, mengharapkan para orang tua untuk tak terlalu menuntut dan membebani anak. Yang penting, anak mencintai kegiatan belajar. Bukan semata mengejar nilai. Dan biarkan anak belajar dengan caranya masing- masing. Tugas orang tua adalah mendorong, tapi soal cara, biarkan anak memutuskan apa yang paling cocok untuk dirinya

Ah. Aku setuju.. setuju sekali dengan pendekatan seperti itu.

Dan urusan 'marathon bukan sprint' menurutku juga berlaku bukan semata tentang nilai tapi tentang jadi juara. Jangan jadikan 'jadi juara' itu beban bagi anak- anak. Jika kelak dia meraihnya, biarkan dia meraih setelah melalui proses pembelajaran dan pematangan diri.

***

Begini.

Sejak dulu, aku dan ayahnya anak- anak bukan termasuk orang tua yang menargetkan agar anak semata mengejar nilai, atau lebih jauh lagi, mengharuskan mereka jadi juara. Tidak juga mendaftarkan mereka ikut lomba ini dan itu, kecuali jika anaknya sendiri menginginkan.

Sebab kami pahami, belajar itu seperti marathon, bukan sprint.

Maka, kami mengikuti saja irama anak- anak kami itu. Tiga anak dengan irama yang berbeda.

happy-kids-578cb136507a619e04bb39c1.jpg
happy-kids-578cb136507a619e04bb39c1.jpg
Dan melihat perkembangan mereka saat ini, aku bersyukur bahwa kami orang tuanya memilih sikap untuk “tak tergesa- gesa” dulu. Tak mendorong- dorong mereka untuk segera mencapai hasil dan membiarkan mereka menikmati dan menjalani proses belajar mereka. Keberhasilan dan kebahagiaan mereka dalam jangka panjang, menurut kami itu lebih penting daripada menjadikan mereka sebagai juara instan.

Kami bahkan berhati- hati sekali, tidak menyebut- nyebut soal “jadi juara” pada anak- anak. Sebab menurut kami, lebih penting membangun mental juara daripada membentuk anak jadi juara instan, apalagi dengan menghalalkan segala cara atau membuat anak jadi juara dengan mental yang rapuh.

Eh, jangan salah, banyak lho kejadian anak yang kelihatannya cemerlang tapi ternyata tak siap mental. Mereka meraih nilai cemerlang, jadi juara, tapi tertekan. Kakak kelas anakku dulu, mendapatkan medali emas olimpiade nasional saat di Sekolah Dasar, tapi dia sering menjerit- jerit di sekolah karena tertekan. Dia terus menyabet gelar juara ini dan itu selepas Sekolah Dasar, tapi bahkan saat dia duduk di bangku kelas dua SMA, anak yang nilai akademiknya cemerlang ini sudah dua kali mencoba bunuh diri. Bayangkan!

***

Tapi, sebagai orang tua, kita memang juga akan mesti bersiap- siap. Sebab, akan ada waktunya anak menyadari bahwa di dunia ini, ada yang namanya “juara”. Dan secara naluriah, dia juga menginginkannya. Kitalah yang harus menjaga agar percakapan itu menjadi motivasi, penyemangat, bukan beban bagi anak.

Cah ayu anak sulung kami, menjelang naik kelas 3 SD tiba- tiba bicara begini, “ Bu, aku ingin jadi juara kelas.. “

Si sulung, selalu masuk 5 besar di kelasnya. Dan peringkatnya merayap naik. Dari 5 lalu ke 3, lalu 2. Tapi ketika itu, belum pernah jadi juara kelas.

Tak mudah menjadi juara kelas di Sekolah Dasarnya. Sekolahnya itu sekolah favorit di kota kami. Anak- anak yang bersekolah di sana mayoritas adalah anak-anak dari orang tua berpendidikan dan cerdas. Kompetisinya ketat sekali. Menurut kami, menargetkan anak jadi juara memang tak diperlukan. Sebab jadi juara atau tidak, ada kalanya memang tergantung siapa kompetitornya juga kan?

Tapi, jika anaknya yang lebih dulu bicara seperti itu, menyampaikan bahwa dia ingin jadi juara kelas mengatakan, “Ah, nggak perlu koq jadi juara. Nggak penting itu.. “ rasanya bukan juga sesuatu yang bijak. Maka jawabanku padanya adalah, “Oh iya. Belajarlah yang rajin. Kalau rajin, bisa nanti jadi juara. Tapi, kalau nggak jadi juara, asal sudah rajin dan jujur, nggak apa-apa koq. Yang penting, kita sudah berusaha.“

Jawabannya normatif sekali, ya? Ha ha. Tapi, memang itu jawaban yang kuberikan pada anak sulung kami ketika itu. Lalu.. tiba- tiba, dia menanyakan satu hal yang tak terduga.

“Bu,“ katanya, “ Waktu SD Ibu dulu pernah jadi juara nggak?“

Glek. Aku menelan ludah. Tahu bahwa ini adalah pertanyaan ‘berbahaya’ yang jawabannya juga harus dipikirkan baik- baik.

Setelah kutimbang matang-matang, kuputuskan untuk memberikan jawaban jujur saja pada anakku.

“Waktu SD, ibu nggak pernah nggak juara kelas,“ jawabku hati-hati.

Anakku tercengang.

“Maksud ibu, ibu selalu juara kelas?“

“Iya.“

“Tiap bagi rapor?“

“Iya“

“Dari kelas satu sampai lulus SD? Juara terus?“

“Iya.“

Duh. Serius deh. Percakapan itu teringat sampai hari ini sebab itu merupakan salah satu percakapan ‘sulit’ bagiku.

Aku sungguh tak ingin anakku membandingkan dirinya dengan diriku. Walau dia anakku, dia individu yang berbeda dengan diriku. Lebih- lebih lagi, kompetisi saat ini beda dengan zamanku dulu. Dulu, jadi juara kelas itu rasanya ya bisa dicapai dengan ‘begitu saja’. Aku tak melakukan terlalu banyak hal untuk mendapatkan itu. Beda dengan anak-anak sekarang.

***

Urusan jadi juara ini, pernah muncul sekali lagi, saat si sulung lulus Sekolah Dasar. Saat itu ada ujian nasional yang urusan NEM ( Nilai Ebtanas Murni )-nya seakan urusan hidup dan mati. Ada banyak orang tua murid di sekolah anakku yang sejak jauh- jauh hari sudah menagetkan, anaknya minimal harus mendapatkan total NEM sekian, dan anaknya dipacu untuk itu. Tujuannya, tentu saja, agar sang anak nanti bisa menembus masuk SMP favorit yang dasar penerimaannya adalah NEM.

Kami berdua, aku dan ayahnya anak-anak, tidak begitu. Kami tidak menargetkan apa- apa. Kami, seperti biasa, hanya mendorong anak kami untuk mengupayakan yang terbaik saja. Kami katakan padanya, “Kalau kau tidak bisa masuk ke SMP anu (yang favorit itu), tenang saja, nanti kita cari sekolah lain. SMP kan bukan cuma ada satu.. “

Anak kami itu, murid kelas akselerasi. Dia akan menamatkan sekolah dasarnya dalam 5 tahun. Dan tahun itu merupakan pilot project kelas akselerasi di sekolah tersebut. Maka bagi kami, tak perlulah menambah beban lain padanya.

Lalu.. tak dinyanya tak diduga…

Ketika NEM diumumkan..

Beberapa orang tua tampak kecewa. Nilai NEM anak mereka tak seperti yang diharapkan. Sementara, wah.. putri kami malah memperoleh NEM jauh di atas yang kami bayangkan. NEM-nya ternyata bahkan nomor dua terbaik dari seluruh angkatannya. Artinya, dari seluruh murid kelas 6 baik yang kelas akselerasi maupun kakak- kakak kelasnya yang non- akselerasi. Nilai NEM tertinggi diraih oleh kakak kelasnya dari kelas 6 non-akselerasi yang memang selama ini selalu menjadi juara umum.

Anak kami gembira sekali.

Kami juga gembira. Kami tahu dia bekerja keras, and well, she deserve it. Dia memang pantas mendapatkan hal itu. Walau ayahnya, lalu dengan jahil menggodanya.

“Nduk,“ kata ayahnya, “Kau rangking 2 se-sekolahmu NEM-nya, kalau sekotamadya rangkin berapa ya? Jangan-jangan rangking 200.“

Ayahnya mengatakan hal itu sambil tertawa. Aku sendiri paham betul, ayahnya bergurau. Walau menurutku, itu gurauan yang kebablasan. Dan feeling-ku ternyata benar. Sebab cah ayu yang sedang bergembira itu menanggapinya dengan serius.

“Ih Bapak,“ katanya, “Memangnya Bapak dulu pernah waktu lulus sekolah dapat ranking dua se-sekolah?“

Duh, gemasnya aku pada sang ayah. Ayahnya sendiri, saat itu, tanpa merubah raut mukanya sambil menyetir mobil menuju rumah kami dengan tenang menjawab, “Bapak waktu lulus SMA dulu lulusnya juara dua se-kotamadya, Nduk..“

Haduuuhhh, serius deh. Ini urusan juara-juaraan kedua kali yang menaruh kami pada posisi sulit. Yang pertama saat putriku beberapa tahun sebelumnya bertanya apakah aku pernah juara kelas saat SD, yang kedua kali, ya saat itu. Saat sang ayah dengan iseng membuka ‘rahasia’ bahwa dirinya lulus SMA sebagai juara dua se-Kotamadya.

Oh, aku tahu. Itu hal yang membanggakan. Tapi aku sendiri sungguh tak ingin putriku terbeban. Saat itu, putriku bahkan belum tahu, belum pernah kami beritahu, bahwa kakeknya, ayahku, konon dulu saat SMA juga diarak naik mobil terbuka keliling kotamadya sebab kakeknya juga juara dua se-kotamadya.

Sebab kembali lagi, pada dasarnya kami ingin dia berkembang sesuai dengan kemampuannya sendiri. Tidak semata karena kakeknya, ayah atau ibunya…

Nah, rumit kan, urusan juara-juaraan ini?

( Bersambung ke: http://www.kompasiana.com/rumahkayu/membangun-mental-juara-itu-lebih-penting-daripada-sekedar-menjadi-juara_57945bd886afbdd92cf4bf71 )

P.s. link terkait:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun