"Ekstrim, jika sudah terjadi tindak kekerasan. Jika suami menganiaya dan menyiksa istrinya secara fisik dan mental. Jika itu yang terjadi,istri punya hak untuk melarikan diri. Tapi jika pertengkaran hanya karena uang belanja, atau karena beda pola asuh anak, atau soal menu makanan, ya sebaiknya diselesaikan di dalam rumah."
Dee mengangguk setuju. Apa yang dipaparkan Kuti sudah mereka terapkan sejak mereka menikah. Sejak awal keduanya sepakat untuk sesegera mungkin menyelesaikan perbedaan pendapat. Keduanya juga sepakat untuk 'tidak menyimpan amarah hingga matahari terbenam'. Mereka juga tidak ingin bertengkar secara terbuka di depan anak-anak. Apalagi menjadikan anak-anak sebagai 'kurir pembawa pesan' karena kedua orang tuanya tak saling menyapa.
“Dan yang lebih penting,” tambah Kuti, “jika sang istri memutuskan untuk kabur dari rumah, sebaiknya pergi ke kerabat atau orang tua. Dan jangan sekali-kali pergi ke tempat laki-laki lain, apalagi mantan pacar. Karena hal itu selain tidak menyelesaikan masalah, justru akan menimbulkan persoalan baru. Karena yang terjadi adalah pengkhianatan…”
"Ya, aku setuju,” kata Dee. “Jadi kapan?"
"Kapan apanya?"
"kapan kau nulis soal Selina dan Aditya itu? Kasusnya menarik lho"
"Kayaknya belum bisa dalam waktu dekat, 'yang," kata Kuti. "Semoga aku bisa nulis soal itu sesudah Lebaran nanti, hehehe" Kuti berujar setengah menggoda.
Dan Kuti terbahak ketika melihat istriya cemberut
catatan:
- Tulisan ini dibuat berdasarkan peristiwa yang belum lama terjadi
- Nama dan beberapa detil tentang pihak yang disebutkan dalam tulisan ini sudah disamarkan dan diubah, demi privasi