Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dengan Naik Sepeda, Tak Lagi Mogok Sekolah (A True Story)

9 April 2016   09:27 Diperbarui: 9 April 2016   13:17 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Gambar: cliparts.co"][/caption]

Catatan ini ditulis untuk para orang tua untuk tak putus asa mengatasi keunikan anak- anak, sebab solusi akan bisa ditemukan...  

KURSI kertas itu tetap ajeg berdiri, ketika empat orang mahasiswa naik dan meloncat di atasnya..

Aku tersenyum mengamati video yang ditunjukkan anakku, cah lanang anak tengah, anak keduaku.

Video itu menunjukkan proses perakitan kursi dari kertas kardus, yang merupakan bagian dari tugas yang diterimanya dalam mata kuliah Pengantar Rekayasa dan Desain.

Anakku ini, mahasiswa tingkat pertama di fakultas teknik.

Sejak beberapa waktu sebelumnya, aku sudah mendengar cerita dan melihat proses pembuatan kursi dari kardus ini.

Emang kuat dipake duduk? “ tanyaku saat melihat contoh kursi kardus yang dibuat anakku dan teman- teman sekelompoknya.

Dinaikin empat orang dan dipakai loncat- loncat juga kuat, bu, “ jawab anakku sambil nyengir lebar.

“ Yang bener, “ komentarku.

“ Betulan… “ katanya.

Dan di video itu aku melihat, benar bahwa kursi kardus bekas itu memang kuat ketika ada mahasiswa yang meloncat di atasnya dan juga tetap kokoh berdiri bahkan saat empat mahasiswa bersamaan berdiri di atasnya.

***

Kali lain.

“ Hallo mas, “ sapaku melalui Line, “ Lagi ngapain? “

Anakku ini kuliah di luar kota. Maka sehari- hari, text message dan telepon-lah yang menjadi sarana komunikasi kami.

“ Lagi menggambar, “ katanya.

“ Gambar apa? “

“ Gambar teknik. “

“ Oh ya udah. Sehat kan? “

“ Sehat.”

***

Kali lain, ini di akhir semester lalu, saat liburan akhir semester satu, ketika kami sedang leyeh- leyeh di depan TV.

“ Berapa IP-mu, mas ? “

“ Tiga koma satu, bu. “

“ Oh, okay. Bagus dong. Semester depan, bisa dapat tiga koma lima? “

Tak membalas dengan kata- kata, anakku menjawab dengan tatapan jenaka yang berbunyi “nggak janji”.

Ha ha.

Ah, sejujurnya, aku juga tak terlalu serius dengan permintaan “bisa dapat tiga koma lima” itu. Aku tahu, anak tengahku ini tidak bermalas- malasan. Dia rajin belajar. Menjalani kuliahnya dengan baik. Maka aku percaya, tiga koma satu itu sudah hasil usaha terbaiknya.

Dan mengingat riwayat tumbuh kembangnya saat kanak- kanak, ketika dia mengalami phobia sekolah dan selama bertahun- tahun berulang kali mogok sekolah saat duduk di bangku Sekolah Dasar dan baru sedikit demi sedikit situasi membaik ketika dia memasuki masa remajanya, apa yang dia capai sekarang sudah cukup melegakan hati.

Tahun lalu, dia berhasil menembus masuk seleksi ke Fakultas Teknik di Perguruan Tinggi Negeri yang konon terbaik di negeri ini, yang konon juga passing grade saat seleksinya tertinggi di antara perguruan tinggi negeri lain. Hal itu sudah sangat membuat kami orang tuanya senang dan lega sekali.

Terbayar sudah segala upaya saat mengatasi beragam tantangan untuk membuatnya senang bersekolah dulu.

Ya, segala upaya. Baik ke psikolog, mendiskusikan dengan guru- guru, mencarikan sekolah yang cocok dan akan membuatnya bisa berkembang dengan baik, termasuk, saat dia Sekolah Dasar, mengijinkannya naik sepeda ke sekolah.

Benar.

Mengijinkan dirinya naik sepeda ke sekolah dulu itu merupakan salah satu hal yang membuatnya kemudian merasa senang berangkat sekolah dan bisa mengatasi mogok sekolahnya.

***

Saat SD, anak- anak kami, termasuk anak tengah ini, bersekolah tak jauh dari rumah.

Seperti pernah kuceritakan sebelumnya, anak tengahku ini senang sekali naik sepeda. Sejak dia kecil, batita, balita, terus dari tahun ke tahun, kegemaran itu tak berubah.

Dan kegemaran inilah yang pada suatu hari akhirnya membantu mengatasi urusan mogok sekolah.

Saat dia masih sering mogok sekolah itu, kami memang membujuknya dengan beragam cara, mencari hal- hal menarik di sekolah yang mungkin akan bisa menarik hatinya. Sejujurnya, tak banyak yang bisa dicari. Sebab dia betul- betul tidak suka sekolah. Hingga suatu hari, ada pembicaraan antara dia dan ayahnya saat dia duduk di kelas 5 SD yang berujung pada kesepakatan bahwa alih-alih diantar jemput seperti yang sebelumnya dilakukan, dia akan boleh pergi dan pulang sendiri ke sekolah. Dengan sepeda kesayangannya.

Cukup aman. Jarak SD itu dari rumah kira- kira satu setengah kilometer . Ada jalan- jalan kecil dari kompleks perumahan kami yang bisa ditembus menuju sekolah untuk menghindari jalan raya.

Keputusan itu merupakan salah satu titik penting yang kemudian membuatnya berhenti mogok sekolah. Bukan satu- satunya, memang, ada rangkaian upaya lain. Tapi urusan naik sepeda ini tetap salah satu yang terpenting.

Bocah cilik itu merasa mendapat kesempatan untuk bersenang- senang setiap hari, bisa naik sepeda ke dan dari sekolah.

Kegembiraannya sungguh nyata terlihat.

Saat itu, tak banyak murid di Sekolah Dasar itu yang berangkat dan pulang sendiri dengan naik sepeda seperti dia.

Ralat, bukan tak banyak, tapi tak ada.

Murid- murid di sekolah itu biasa diantar jemput baik oleh orang tuanya sendiri atau naik mobil jemputan.

Dan menjadi satu- satunya murid yang datang dan pulang ke sekolah sendiri naik sepeda, sepertinya membuat cah lanang berusia sembilan tahun ini merasa spesial. Merasa dia bisa melakukan sesuatu sendiri, meningkatkan rasa percaya diri dan kemandiriannya.

Apalagi, rupanya apa yang dilakukannya itu juga diperhatikan oleh teman- teman, orang tua murid lain dan juga guru- gurunya. Dia sering dikomentari dan ditanya tentang kebiasaan barunya itu, yang selalu dijawabnya dengan senang hati.

Dan begitulah, babak baru dimulai…

Urusan mogok sekolah, telah usai…

p.s.
Anak yang sama, kelak di masa SMP-nya di sebuah sekolah berbiaya mahal, juga pernah menjadi satu- satunya murid di SMP itu yang pulang- pergi naik angkot ke sekolah. Ha ha. 

I am proud of you, mas. Teruslah berusaha, dan keluarkan potensi terbaikmu. Love you always.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun