[caption caption="Gambar: cartoonstand.wordpress.com"][/caption]
Sepeda, bisa menjadi solusi untuk banyak hal.
PALING sedikit, itulah yang terjadi pada anak keduaku. Bocah lanang yang sekarang sudah besar, sudah menjadi mahasiswa di fakultas teknik itu.
Anak ini memang unik.
Dia tidak menyulitkan, sebetulnya. Tidak pula bandel. Atau paling sedikit, aku yakin, tidak berniat bandel, ha ha. Tapi tingkah lakunya memang sering ‘mengejutkan’. Dan membuat kami orang tuanya harus berpikir keras, tapi tetap bersikap ‘santai aja’ saat menghadapinya.
Sebab ya itu, sebab dia sendiri sebetulnya tak bermaksud bandel atau menyusahkan, jika kami tampak panik, dia akan lebih panik lagi.
Anak unik ini, seperti yang pernah beberapa kali kuceritakan disini, saat kecil kemampuan sosialnya tidak berimbang dengan kemampuan intelegensinya. Jadi dia sendiri kadang- kadang kesulitan menghadapi banyak hal.
Maka itulah, dalam banyak waktu, kami orang tuanya yang harus membantu dia menjembatani hal- hal itu.
Dan seperti yang kutuliskan dalam baris pertama tulisan ini, sepeda menjadi bagian penting dalam tumbuh kembang anak tengah kami ini.
***
Sejak kecil, anak kedua kami ini sudah menunjukkan kesenangan yang amat sangat pada sepeda.
Semua anak kecil memang senang bersepeda, tapi dia bukan hanya senang. Sepeda memang menjadi mainan favoritnya. Bahkan sejak sepedanya masih beroda tiga.
Kakaknya juga senang bersepeda, tapi dengan kesenangan yang levelnya berbeda dengan adiknya ini.
Kesenangan bersepeda ini ditumbuhkan oleh suamiku, yang memang gemar naik sepeda.
Begitu anak pertama kami lahir, salah satu benda yang dibeli oleh suamiku adalah kursi rotan yang bisa dijepitkan di palang sepeda bagian depan itu.
Lalu begitu bayi kami sudah bisa duduk, sang ayah ini memiliki rutinitas baru: mengajak bayinya jalan- jalan naik sepeda. Aku sendiri, kadang ikut dengan mengendarai sepedaku sendiri, kadang jika sedang malas, kubiarkan saja sang ayah berdua dengan bayinya berkeliling kemana mereka suka.
Bukan hanya pada anak pertama, suamiku melakukan hal yang sama pada ketiga anak kami saat mereka masih kecil.
Termasuk pada anak kedua kami.
Ketika anak kedua kami lahir, kakaknya sudah bisa naik sepeda sendiri. Jadi kami biasa naik sepeda berempat. Anak sulung kami dengan sepeda mungilnya, sang ayah dengan adik bayi di kursi rotan di palang bagian depan sepeda, lalu aku dengan sepedaku sendiri.
Begitu terus berlangsung hingga anak kedua ini tumbuh makin besar dan bisa mengendarai sepedanya sendiri. Mulai dengan sepeda roda tiga, lalu sepeda roda dua.
Dan anak ketiga kami lahir…
Lalu ada hal yang terjadi ketika itu.
Anak kedua kami ini rupanya cemburu kepada adik bayinya yang membuat waktuku baginya berkurang.
Tingkahnya jadi ada- ada saja.
Marah- marah, kesal, sampai hal- hal yang tak terbayangkan akan bisa dilakukannya, dia lakukan. Misalnya membanting barang, atau bahkan suatu hari, buah semangka yang baru saja kami beli juga pecah berantakan sebab anak tengah kami ini marah tanpa sebab yang jelas dan membanting buah itu ke lantai.
Dan…
Suamiku mengambil alih urusan.
Dia meluangkan waktu lebih banyak dengan bocah lelaki kecil yang sedang sering ngambek dan marah- marah itu. Sepeda menjadi solusi. Mengingat kegemaran mereka bersepeda, cara itulah yang dipilihnya.
Sementara aku mengurus bayi yang baru lahir, diajaknya anak kedua kami itu bersepeda kesana- kemari. Kadang bertiga dengan anak sulung kami, kadang mereka berdua saja.
Dampaknya terlihat segera.
Anak tengah kami tak lagi marah- marah dan cemburu pada adik bayi yang baru lahir itu. Sebab, dia punya sesuatu yang asyik yang bisa dilakukannya bersama kakak dan ayahnya, ‘yang tidak bisa dilakukan adik’. He he.
Mereka bersepeda tidak hanya di sekitar kompleks kami saja, tapi juga ke tempat yang saat mereka pulang sering kutanggapi dengan “waduh, begitu jauhnya?”
Dan mereka, suami dan anak- anakku , terutama anak tengahku, bocah lelaki berusia lima tahun itu akan tertawa- tawa senang dan kemudian menceritakan padaku (dan adik bayi yang sedang kuberi ASI) tentang apa saja yang mereka temukan di jalan saat sedang bersepeda itu…
(bersambung ke: http://www.kompasiana.com/rumahkayu/dengan-naik-sepeda-tak-lagi-mogok-sekolah_570868977fafbdf104aeb3e6)
p.s. tulisan ini tidak diikutkan lomba menulis tentang sepeda, sebab tanggal lombanya sudah lewat, he he he…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H