Anak kedua kami ini rupanya cemburu kepada adik bayinya yang membuat waktuku baginya berkurang.
Tingkahnya jadi ada- ada saja.
Marah- marah, kesal, sampai hal- hal yang tak terbayangkan akan bisa dilakukannya, dia lakukan. Misalnya membanting barang, atau bahkan suatu hari, buah semangka yang baru saja kami beli juga pecah berantakan sebab anak tengah kami ini marah tanpa sebab yang jelas dan membanting buah itu ke lantai.
Dan…
Suamiku mengambil alih urusan.
Dia meluangkan waktu lebih banyak dengan bocah lelaki kecil yang sedang sering ngambek dan marah- marah itu. Sepeda menjadi solusi. Mengingat kegemaran mereka bersepeda, cara itulah yang dipilihnya.
Sementara aku mengurus bayi yang baru lahir, diajaknya anak kedua kami itu bersepeda kesana- kemari. Kadang bertiga dengan anak sulung kami, kadang mereka berdua saja.
Dampaknya terlihat segera.
Anak tengah kami tak lagi marah- marah dan cemburu pada adik bayi yang baru lahir itu. Sebab, dia punya sesuatu yang asyik yang bisa dilakukannya bersama kakak dan ayahnya, ‘yang tidak bisa dilakukan adik’. He he.
Mereka bersepeda tidak hanya di sekitar kompleks kami saja, tapi juga ke tempat yang saat mereka pulang sering kutanggapi dengan “waduh, begitu jauhnya?”
Dan mereka, suami dan anak- anakku , terutama anak tengahku, bocah lelaki berusia lima tahun itu akan tertawa- tawa senang dan kemudian menceritakan padaku (dan adik bayi yang sedang kuberi ASI) tentang apa saja yang mereka temukan di jalan saat sedang bersepeda itu…