Ketika itu krisis moneter sedang melanda Indonesia.
Situasi ekonomi gonjang- ganjing. Ada banyak orang di sekitar kami yang mengalami pemutusan hubungan kerja.
Kami masih beruntung. Tak mengalami PHK, kami tetap memiliki pekerjaan dan penghasilan. Walau sebab harga- harga naik tinggi, kami juga harus mengencangkan ikat pinggang.
Harga bahan pokok meroket. Padahal kami memiliki anak balita yang harus dicukupi kebutuhan gizinya.
Maka kami benar- benar harus berhati- hati mengelola kondisi finansial kami.
Aku juga ingat bahwa selain kebutuhan pokok, saat itu suku bunga melambung tinggi sampai pada level yang tak terbayangkan.
Ini adalah bagian yang paling mempengaruhi situasi finansial kami. Kami baru menikah beberapa tahun saat itu, dan sedang mencicil rumah mungil kami yang pertama.
Naiknya suku bunga menyebabkan kami terbelalak. Angka cicilan yang kami harus bayar ke bank menjadi berkali- kali lipat dari angka yang kami harus bayar setiap bulan sebelumnya ketika suku bunga belum naik gila- gilaan. Sementara itu, jika dilihat, walau angka tiap bulan yang kami bayar melambung sangat tinggi, jumlah itu tidak mengurangi pokok pinjaman. Sebab ya itu, jumlah tinggi yang kami bayar itu asal muasalnya dari suku bunga yang tingginya luar biasa.
Maka, keputusan diambil.
Kami mengambil cara yang mungkin agak ‘terbalik’ dengan kebanyakan orang pada situasi seperti itu. Ada banyak orang yang datang ke bank untuk merubah masa pinjaman menjadi lebih panjang, agar jumlah yang dibayar setiap bulan menjadi sama dengan yang sebelumnya (ketika bunga belum naik).
Kami berdua, setelah berhitung, justru memutuskan untuk datang ke bank meminta agar jangka waktu kredit rumah kami dipangkas sampai kurang dari setengah jangka waktu yang direncanakan sebelumnya.