Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Menyerah ! (Proses Panjang Membesarkan Anak Unik - 1)

13 September 2015   12:28 Diperbarui: 24 September 2015   14:43 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

" Fisika Halliday... Iya, ada... Apa lagi ? "

TELEPON di rumah kami berdering awal Agustus yang lalu. Si Bungsu yang mengangkat. Lalu percakapan itu terjadi.

" Halliday udah. Apa? Giancoli? Iya ada juga. Chang.. Kimia.. oh, ini dia... Iya... Iya nanti dibawain... "

Mendengar percakapan itu dan apa yang dilakukan si bungsu saat menerima telepon, bisa kuduga, siapa yang ada di ujung lain saluran telepon itu.

Si bungsu, sambil pesawat telepon berada di kupingnya, berdiri di kamar, di depan rak buku dimana buku- buku pelajaran kakaknya berada.

" Itu Mas ? " tanyaku pada si bungsu, yang dijawab dengan anggukan.

Lalu, lanjut si bungsu, " Kata mas, bukunya tolong dibawain kalau kita kesana. "

Aku mengangguk paham. 'Kesana' yang dimaksud adalah jika kami datang menengok ke kota dimana si mas itu kini berada.

Yang disebut 'mas' oleh si bungsu itu adalah kakaknya, anak tengah kami, anak nomor 2 yang saat itu baru saja diterima di Perguruan Tinggi yang letaknya di kota yang berbeda dengan tempat kami tinggal.

Baru usai daftar ulang. Kuliah baru akan dimulai beberapa minggu setelah itu tapi rupanya dia sudah mulai mempersiapkan buku- buku apa saja yang akan dibutuhkannya dan mendapati bahwa beberapa buah buku yang akan digunakannya di tahun pertama sudah dia miliki saat SMA.

Pasalnya, ketika anak- anak duduk di SMA, ayahnya -- suamiku -- suka membelikan buku- buku tingkat dasar perguruan tinggi untuk dipergunakan sebagai referensi oleh anak- anak. Dan buku- buku itulah ternyata yang akhirnya memang digunakan kemudian saat mereka betul- betul sudah masuk Perguruan Tinggi, makanya si mas lalu meminta kami untuk membawakan buku- buku itu jika kami datang menengoknya.

***

Itu peristiwa kecil. Soal telepon tentang Halliday, Giancoli dan Chang itu. Tapi peristiwa kecil itu sangat menyentuh perasaanku.

Gembira. Terharu. Lega... Entah apalagi, semua rasa itu memenuhi hatiku.

Dia sudah di Perguruan Tinggi. Di Perguruan Tinggi 'yang itu'. Dan dia bahkan sudah bersiap- siap menghadapi apa yang akan dibutuhkannya untuk kuliah sejak beberapa minggu sebelumnya...

Sejujurnya, perasaan- perasaan itu meluap lebih banyak daripada beberapa tahun sebelumnya, ketika si mbak, anak sulungku yang perempuan, diterima di perguruan tinggi yang sama, bahkan tanpa testing. Sulungku diterima disana melalui jalur undangan. Adiknya, anak tengahku ini, harus testing untuk menembus pintu masuk perguruan tinggi tersebut sebab tak diterima melalui jalur undangan seperti kakaknya.

Bukan... Bukan karena aku tak menghargai upaya si mbak, anak perempuan mungil yang gigih itu. Aku sangat menghargai semua upaya, usaha, kegigihan dan keteguhan hati yang membawanya melenggang masuk tanpa testing ke Perguruan Tinggi Negeri yang dicita- citakannya itu.

Bukan itu yang membuat perasaanku tak terlalu meluap saat itu.

Hanya saja, si mbak diterima disana tanpa testing itu bisa dihitung di atas kertas. Probabilitasnya tinggi. Dia selalu cemerlang sepanjang perjalanan sekolahnya. Sejak kecil. Semua serba teratur dan 'bisa dihitung'. Dia seperti membuktikan rumus- rumus dimana jika kita menjalankan ini, outputnya adalah itu.

Berbeda dengan anak tengahku, si mas yang kuceritakan ini.

Ini anak yang menguras energi banyak sekali selama masa tumbuh kembangnya.

Jika dia pada akhirnya masuk Perguruan Tinggi Negeri yang sama dengan kakaknya, perguruan tinggi negeri yang konon nilai rata- rata yang dibutuhkan untuk bisa masuk kesana adalah yang tertinggi di seantero negeri, kesulitan dan sandungan yang harus dihadapinya banyakkk sekali. Jauh lebih banyak dibandingkan kakaknya.

Kenapa, emangnya dia bandel?

Oh tidak. Dia tidak bandel.

Dia cuma... unik. He he he.

Dia anak yang membutuhkan stamina tinggi dari orang tua untuk bisa sabar membesarkan anak secara marathon. Bukan sprint. Untuk bisa menikmati perkembangannya sedikit demi sedikit, menanti saat dimana dia bisa stabil dan memiliki kekuatan mental yang cukup untuk meraih cita- citanya...

Dan itu semua juga bukan 'salah'-nya. Itu built-in, dia memang terlahir dengan semua keunikannya itu... 

Eh... emangnya kenapa siihhhh dengan dia, si anak tengah ini?

Nanti ya, bersambung... sebab, ceritanya panjaangggg... :) 

p.s. bersambung ke bagian 2 disini: http://www.kompasiana.com/rumahkayu/jangan-menyerah-proses-panjang-membesarkan-anak-unik-2_55f53f305993737a082e5168

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun