Pasalnya, ketika anak- anak duduk di SMA, ayahnya -- suamiku -- suka membelikan buku- buku tingkat dasar perguruan tinggi untuk dipergunakan sebagai referensi oleh anak- anak. Dan buku- buku itulah ternyata yang akhirnya memang digunakan kemudian saat mereka betul- betul sudah masuk Perguruan Tinggi, makanya si mas lalu meminta kami untuk membawakan buku- buku itu jika kami datang menengoknya.
***
Itu peristiwa kecil. Soal telepon tentang Halliday, Giancoli dan Chang itu. Tapi peristiwa kecil itu sangat menyentuh perasaanku.
Gembira. Terharu. Lega... Entah apalagi, semua rasa itu memenuhi hatiku.
Dia sudah di Perguruan Tinggi. Di Perguruan Tinggi 'yang itu'. Dan dia bahkan sudah bersiap- siap menghadapi apa yang akan dibutuhkannya untuk kuliah sejak beberapa minggu sebelumnya...
Sejujurnya, perasaan- perasaan itu meluap lebih banyak daripada beberapa tahun sebelumnya, ketika si mbak, anak sulungku yang perempuan, diterima di perguruan tinggi yang sama, bahkan tanpa testing. Sulungku diterima disana melalui jalur undangan. Adiknya, anak tengahku ini, harus testing untuk menembus pintu masuk perguruan tinggi tersebut sebab tak diterima melalui jalur undangan seperti kakaknya.
Bukan... Bukan karena aku tak menghargai upaya si mbak, anak perempuan mungil yang gigih itu. Aku sangat menghargai semua upaya, usaha, kegigihan dan keteguhan hati yang membawanya melenggang masuk tanpa testing ke Perguruan Tinggi Negeri yang dicita- citakannya itu.
Bukan itu yang membuat perasaanku tak terlalu meluap saat itu.
Hanya saja, si mbak diterima disana tanpa testing itu bisa dihitung di atas kertas. Probabilitasnya tinggi. Dia selalu cemerlang sepanjang perjalanan sekolahnya. Sejak kecil. Semua serba teratur dan 'bisa dihitung'. Dia seperti membuktikan rumus- rumus dimana jika kita menjalankan ini, outputnya adalah itu.
Berbeda dengan anak tengahku, si mas yang kuceritakan ini.
Ini anak yang menguras energi banyak sekali selama masa tumbuh kembangnya.