Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Balada KRL: Kaleng Penyiksaan

22 Juli 2013   06:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:13 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berangkat kerja. Dan penyiksaan yang berulang setiap hari.

PERNAH lihat orang- orang yang hendak pergi dan pulang bekerja dan terpaksa mengalami 'penyiksaan' setiap hari, pagi dan sore?

Tanyakan pada para penumpang KRL Jabodetabek. Mereka akan tahu apa artinya itu...

[caption id="attachment_268123" align="aligncenter" width="585" caption="Gambar: news.liputan6.com"][/caption]

***

Beberapa hari yang lalu kulihat seorang lelaki turun dari gerbong KRL. Lemas dan sempoyongan, dia berkata "Aduh, tidak kuat kalau seperti ini setiap hari. Lemas sekali rasanya. "

( Itu laki- laki. Bayangkan para perempuan yang setiap hari juga mengalami hal yang sama.)

KRL saat ini memang sama sekali tak sehat. Menurutku, ini dampak dari hal mendasar yang seharusnya ada tapi diabaikan saat pengambilan keputusan, yakni:

1. Segmentasi pasar

Adalah fakta bahwa konsumen, penumpang, atau apapun sebutannya yang selama ini naik KRL heterogen.

Dulu KRL ada tiga jenis, dengan tarif yang berbeda.

KRL Ekonomi, Ekonomi AC dan Ekspres.

Kenyamanan dan terutama waktu tempuhnya ketiganya berbeda.

Kini, semua (akan dan mayoritas sudah) diseragamkan.

Ditengah fakta tentang keberagaman penumpang itu, PT. KAI/ KCJ malah menutup mata terhadap hal yang begitu nyata dan memaksakan hanya ada satu macam operasi saja yang mereka sebut KRL 'Commuter Line' (ini setara dengan KRL Ekonomi AC dulu).

2. Analisa Tentang Kekuatan dan Kekurangan/ Hal yang Perlu Diperbaiki

Yang namanya kemajuan, perbaikan, tentu selayaknya didahului dengan mempelajari situasi. Ada studi pendahuluan dan analisa yang perlu dilakukan.

Dan saat melakukan analisa ini, selayaknyalah PT. KAI/ KCJ mempelajari apa yang menjadi kekuatan operasi KRL selama ini, dan apa yang perlu diperbaiki.

Menghilangkan KRL Ekonomi yang gerbongnya sudah tak layak pakai dengan memberikan harga yang terjangkau, itu kemajuan.

Tapi tanyakan pada para penumpang yang dulu terbiasa naik KRL Ekspres, adakah situasi sekarang merupakan perbaikan?

Jawabnya, tidak.

Sebab sudah sedari dulu gerbong KRL yang digunakan setara dengan gerbong yang dipakai oleh KRL yang kini disebut 'Commuter Line'. Tapi waktu tempuh berselisih banyak. Belum lagi, sebab situasi yang sangat tidak nyaman dan kepadatan serta siksaan fisik yang sudah melebihi ambang toleransi normal, banyak penumpang terpaksa membuang waktu untuk naik KRL berputar ke arah yang berlawanan dengan tujuan dan nanti turut gerbong yang sama kembali, agar bisa memperoleh tempat duduk.

Di KRL Ekspres dulu juga, banyak orang berdiri. Tapi waktu tempun yang relatif cepat dan ruang gerak yang masih cukup dapat diterima membuat banyak orang masih sanggup berdiri serta banyak yang tak merasa perlu ikut berputar dulu.

Tapi kan tarifnya sekarang murah?

Lho, segmen yang ini tak perlu tarif murah. Bukan itu yang diharapkan. Bukan situasi 'tarif murah koq mau enak', 'tarif murah koq pengen selamet' atau tarif murah plus bonus penyiksaan fisik tiap hari yang diinginkan.

Ada cukup banyak orang yang bersedia membayar tiket sampai 3, 4 bahkan 5 kali lipat dari harga tiket saat ini, tapi orang- orang ini tak diberi pilihan dan dipaksa menelan situasi KRL yang jauh dari harapan.

Anehnya, alih- alih mempertahankan yang sudah bagus dan memperbaiki yang kurang, yang dilakukan adalah perombakan total. Yang sudah baik dulu, malah dihilangkan.

Harapan Palsu

Kekecewaan banyak penumpang tentang penghapusan KRL Ekspres sebenarnya sudah diekspresikan sejak dua tahun yang lalu, namun (seperti biasa) PT. KAI dan KCJ menutup telinga.

Ada banyak janji diberikan yakni KRL 'Commuter Line' akan hanya berhenti sekian (detik atau menit) dalam satu stasiun, sehingga dampaknya tak banyak.

Bahwa KRL tak akan ditahan- tahan. Bahwa antrian akan lancar.

Faktanya? Ah, itu janji gombal belaka.

Tak ada standar berapa lama KRL berhenti di setiap stasiun. Dan oh, lihatlah bagaimana KRL sering sekali ditahan begitu lama di stasiun Manggarai. Menunggu jalur kosonglah, menanti KRL lain yang penumpangnya akan perlu sambungan kereta ke jurusan tertentulah, dan banyak lagi. Beribu alasan diberikan untuk ini.

Sebaliknya, harapan palsu juga diberikan bagi banyak orang yang bersorak bahwa KRL berhenti di semua stasiun.

He he, benar, berhenti ya berhenti, tapi bisa masuk ke dalam gerbong atau tidak?

Dulu ada KRL yang hanya berhenti di stasiun tertentu, tak berhenti di semua stasiun. Tapi sebab memang begitu adanya, situasinya jelas.

Sekarang?

Satu KRL harus dilewatkan sebab penuh, KRL kedua belum juga bisa masuk, ketiga, sama juga.

Ketidak pastian dan kekecewaan yang harus ditanggung menjadi sangat menekan, bahkan lebih buruk daripada saat KRL Ekspres melintas sebab memang tak mengharapkan naik rangkaian itu.

[caption id="attachment_268138" align="aligncenter" width="494" caption="Gambar: www.rimanews.com"]

1374502307429950353
1374502307429950353
[/caption]

Dampak Pada Penumpang

Situasi KRL beberapa minggu belakangan ini pasti banyak dampaknya pada keseharian banyak orang.

Dan dampak itu meliputi juga dampak negatif dan kurang menguntungkan.

Yang jelas terlihat:

1. Egoisme.

Sebab tahu tak sanggup berdiri sepanjang perjalanan, apalagi KRL sering terlambat sampai cukup lama (setengah jam, bahkan pernah satu jam) tanpa alasan yang jelas, tempat duduk menjadi sangat berharga.

Banyak yang terpaksa membuang waktu untuk ikut berputar arah agar bisa duduk. Akibatnya, orang tak rela atau tak lagi sanggup berbagi. Sangat sedikit yang mau memberikan tempat duduknya pada peumpang lain sebelum sampai ke stasiun tujuan.

Aku bahkan pernah mendengar ada Bapak- bapak yang 'mengomel' pada temannya, menceritakan bahwa hari sebelumnya dia duduk dan diminta berdiri sebab ada orang hamil (mungkin juga dengan cara yang kurang enak -- aku pernah menulis tentang ini sebelumnya ) .

Dia bercerita pada temannya bahwa reaksinya saat itu adalah, " Hamil? Nah yang menghamili siapa? Suaminya kan? Suaminyalah suruh cariin. Tanggung jawab dong, kenapa gue yang mesti ngurus? "

Keterlaluan?

Mungkin. Tapi jika kita setiap hari naik KRL, ketidakrelaan dan egoisme semacam itu dengan mudah bisa dilihat apa latar belakangnya.

2.  Agresivitas

Pertengkaran bukan barang langka di dalam gerbong KRL.

Minggu lalu aku malah melihat seorang lelaki memukul dan menampar lelaki lain di atas gerbong.

Yang satu hendak keluar dari gerbong, yang satu tergesa masuk sebab ingin mencari tempat duduk lalu saat berpapasan menyenggol yang hendak keluar. Dan terjadilah penamparan serta pemukulan itu

Situasi menyiksa dan menekan yang jauh dari harapan membuat orang putus asa.

Herankah kita melihat agresivitas semacam itu? Itu, mudah diduga, memang akan timbul, bukan?

3. Turunnya produktivitas

Kelelahan yang mendera. Kekesalan. Sebal dan sakit hati. Beban fisik yang berlebihan selama perjalanan. Pasokan oksigen yang kurang di dalam gerbong. Semua itu akan berdampak pada penurunan produktivitas seseorang di tempat kerja.

Belum lagi urusan keterlambatan.

Keterlambatan satu jam dan kelelahan yang menyebabkan penurunan produktivitas itu sungguh tidak cocok hitungannya secara ekonomi.

Itu pemborosan.

Bisa jadi 'harga' waktu orang tersebut selama satu jam jauh di atas beberapa ribu rupiah. Belum lagi, keputusan- keputusan yang diambil saat bekerja menjadi tidak optimal sebab kelelahan.

Nah jadi.. quo vadis KRL yang alih- alih menjadi solusi malah menjadi semacam 'kaleng penyiksaan' bagi begitu banyak penumpang yang mayoritas sebenarnya menggunakan jasa KRL tersebut untuk menuju tempat bekerja buat mencari nafkah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun