Di KRL Ekspres dulu juga, banyak orang berdiri. Tapi waktu tempun yang relatif cepat dan ruang gerak yang masih cukup dapat diterima membuat banyak orang masih sanggup berdiri serta banyak yang tak merasa perlu ikut berputar dulu.
Tapi kan tarifnya sekarang murah?
Lho, segmen yang ini tak perlu tarif murah. Bukan itu yang diharapkan. Bukan situasi 'tarif murah koq mau enak', 'tarif murah koq pengen selamet' atau tarif murah plus bonus penyiksaan fisik tiap hari yang diinginkan.
Ada cukup banyak orang yang bersedia membayar tiket sampai 3, 4 bahkan 5 kali lipat dari harga tiket saat ini, tapi orang- orang ini tak diberi pilihan dan dipaksa menelan situasi KRL yang jauh dari harapan.
Anehnya, alih- alih mempertahankan yang sudah bagus dan memperbaiki yang kurang, yang dilakukan adalah perombakan total. Yang sudah baik dulu, malah dihilangkan.
Harapan Palsu
Kekecewaan banyak penumpang tentang penghapusan KRL Ekspres sebenarnya sudah diekspresikan sejak dua tahun yang lalu, namun (seperti biasa) PT. KAI dan KCJ menutup telinga.
Ada banyak janji diberikan yakni KRL 'Commuter Line' akan hanya berhenti sekian (detik atau menit) dalam satu stasiun, sehingga dampaknya tak banyak.
Bahwa KRL tak akan ditahan- tahan. Bahwa antrian akan lancar.
Faktanya? Ah, itu janji gombal belaka.
Tak ada standar berapa lama KRL berhenti di setiap stasiun. Dan oh, lihatlah bagaimana KRL sering sekali ditahan begitu lama di stasiun Manggarai. Menunggu jalur kosonglah, menanti KRL lain yang penumpangnya akan perlu sambungan kereta ke jurusan tertentulah, dan banyak lagi. Beribu alasan diberikan untuk ini.