Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Uniknya Anak-anak: Adakah Sekolah yang Ideal?

8 Juni 2013   22:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:20 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini, tentang sekolah...

BICARA mengenai sekolah, memang gampang- gampang susah. Banyak orang tua tertarik kesana dan kemari oleh dua faham yang keduanya benar tapi agak sulit diterapkan bersamaan, yakni 'jika anaknya bagus, sekolah dimana saja juga hasilnya akan bagus', dengan faham lain bahwa dimana seseorang bersekolah akan berjejak pada kualitas seseorang. Karena itulah ada sekolah- sekolah tertentu yang akhirnya digolongkan sebagai sekolah favorit.

Namanya juga manusia, maunya semua yang serba ideal. Inginnya, anak yang potensial itu, bersekolah juga di sekolah- sekolah yang track record-nya menunjukkan bahwa banyak lulusannya meraih nilai cemerlang dalam ujian akhir sehingga akan mudah mencari sekolah lanjutan yang juga bagus serta di pihak lain bisa membangun bukan semata prestasi akademik namun karakter juga.

Maka, bermunculanlah beragam macam sekolah di sekitar kita.

Dari sekolah negeri dan sekolah berbasis agama yang sejak dulu juga ada, ditambah lagi dengan sekolah nasional plus, sekolah dengan program bilingual, sekolah internasional, dan entah apalagi.

Soal biaya, dari yang ditanggung oleh BOS sehingga uang sekolah gratis hingga yang uang pangkalnya cukup untuk membeli sebuah rumah dan uang iuran bulanannya bisa digunakan untuk makan sekeluarga selama tiga bulan juga ada.

Jadi, kesimpulannya apa?

Kesimpulannya: semua tentu kembali pada orang tua. Yang harus cerdik memilih. Sebab, setelah sekian lama berurusan dengan banyak sekolah untuk ketiga anakku, aku berkesimpulan bahwa sekolah ideal itu tidak ada.

Semua ada plus minusnya. Positif disini, kurang disana.

Maka, orang tua perlu menentukan skala prioritas, mana yang akan menjadi dasar pertimbangan? Jarak? Biaya? Kualitas guru? Program ajar? Fasilitas sekolah? Atau hal- hal lain?

***

[caption id="attachment_258893" align="aligncenter" width="332" caption="Gambar: www.childcareclair.com"][/caption]

Jangan lupakan satu hal, bahwa dunia berputar, dan perubahan terjadi.

Apa yang dulu kurang baik bisa berkembang menjadi baik. Yang dulu baik, ternyata pada akhirnya, perlu ditinggalkan sebab sudah tak lagi sesuai paham dasarnya.

Yang terakhir ini, pernah kami alami saat tanpa rencana, kami terpaksa memindahkan si kecil, anak lelaki kami yang bungsu ke sekolah lain ketika dia naik ke kelas 3 SD.

Terpaksa. Daripada jiwanya cedera.

Ada banyak school bullying terjadi. Dan yang lebih parah, pada suatu titik kami menyadari, tampaknya ada kecurangan besar di lembaga pendidikan tersebut. Ada kursi- kursi yang dijual, ada anak- anak yang dilecehkan harga dirinya.

Soal kursi yang dijual itu, duuuhhhh... kemana saja, habis berkelana ke planet lain ya? Dari dulu juga yang begitu itu ada.

Ya benar, ada. Aku tahu bahwa sering pada masa penerimaan murid baru ada situasi seperti itu, terutama di sekolah- sekolah favorit. Biasanya -- tidak semua, tentu -- di sekolah Negeri.

Tapi ini aku bicara tentang sebuah sekolah swasta, yang konon bernafaskan agama. Dan aku bicara tentang satu jenis kelas yang dibuat untuk anak- anak CIBI. Cerdas Istimewa, Bakat Istimewa.

Pendidikan, dan program yang baik, memang hanya akan jadi baik jika dikelola oleh manusia yang baik pula kualitasnya. Jika tidak, hancur semua sistem itu.

Dan pada suatu hari, dengan sangat geram, tercengang, kecewa, sedih, marah, kusadari bahwa anak bungsu kami, si kecil yang saat itu belum lagi genap berusia delapan tahun, harus berhadapan dengan situasi semacam itu. Dengan sistem yang dirusak.

Kami orang tuanya memutar otak.

Pilihannya: fight, memperjuangkan semua itu, atau, balik badan dan pergi.

Aku mulanya ingin memperjuangkan dan baru jika tak berhasil, pindah. Suamiku -- yang rupanya sudah lebih dulu membaca gelagat kecurangan dan manipulasi daripada aku --  lebih memilih untuk mencari sekolah lain segera.

Tapi itu tak bisa dilakukan sebelum kami tanyakan pendapat si kecil. Kami duga, memindahkan dia ke sekolah lain juga tak akan semudah itu. Kedua kakaknya bersekolah disana sejak TK hingga lulus SD. Si kecil anak bungsu kami itu, juga melewatkan masa taman kanak- kanaknya disana. Dia juga masuk SD yang sama, hingga kelas dua itu. Jadi kami pikir, dia mungkin akan berat untuk pindah.

Dan sebab dia yang akan menjalani, kami tak bisa mengambil tindakan tanpa persetujuannya...

***

Sebetulnya, kami bukan tak menyadari, setelah masuk SD, si bungsu seperti kurang bahagia bersekolah. Tapi ( ini sungguh sangat kusesali belakangan ) tak pernah terpikir oleh kami bahwa yang terjadi adalah hal serius yang dampaknya bisa jangka panjang. Situasi yang memperbaikinya tak bisa dilakukan dalam sehari saja.

Dari ketiga anak kami, justru hanya si bungsu ini yang bahkan sejak play group sudah teridentifikasi sebagai anak sangat potensial oleh gurunya. Sebab dia periang dan terbuka. Sehingga kecerdasannya mudah terbaca.

Si sulung, sangat pemalu dan pendiam saat kecil. Anak tengah kami, seperti yang sudah seringkali kuceritakan dalam tulisan- tulisanku, tak mudah dipahami dan memiliki riwayat mogok sekolah yang panjang.

Si bungsu ini tidak begitu. Dia bahkan sudah merebut hati banyak guru sejak usia batita ketika bersekolah di play group, sudah menerima penghargaan di sekolah. Hal yang bahkan oleh kakak sulungnya yang cemerlang itu saja baru mulai diperoleh di sekitar usia sembilan- sepuluh tahun, saat rasa percaya dirinya mulai terbentuk.

( Dan oh, bukan hanya para guru, banyak orang tua juga terpikat olehnya. Termasuk orang tua seorang gadis kecil yang.. ha ha, ah bagian yang ini nanti saja kutuliskan kapan- kapan ).

Pendek cerita,  pertanyaan yang sudah berhari- hari diniatkan untuk ditanyakan pada si kecil itu berhasil juga diucapkan. Sungguh itu tak mudah sebab kami tadinya menduga dia akan berat hati sementara kami makin melihat bahwa sekolahnya melanggar begitu banyak faham dasar pendidikan anak.

" Dik, adik mau nggak kalau sekolahnya pindah? " begitu kutanyakan padanya suatu sore.

Anakku yang sedang menggambar dan mencoret- coret kertas mengangkat kepalanya.

Aku menahan nafas. Suamiku yang biasanya tenang, juga tampak agak tegang.

Dan kami berdua berpandangan ketika jawaban yang sama sekali tak terduga keluar dari mulut mungil si bungsu, " Mau. Aku sebenarnya sudah lama ingin pindah sekolah, bu... "

Alih- alih senang mendengar jawabannya yang akan memudahkan langkah, hatiku berdarah. Merasa bersalah sebab gagal melindungi dia dari kekerasan dunia...

p.s. segini dulu ya, sudah mulai banjir air mata soalnya nih nulisnya...

** Artikel selanjutnya: http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-dan-anak/2013/06/09/uniknya-anak-anak-kecurangan-dan-manipulasi-yang-merusak-sistem-pendidikan-1-567034.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun