Suatu hari di sebuah Sekolah Dasar...
KAMI, para orang tua murid kelas dua SD yang anak- anaknya mengikuti seleksi untuk masuk ke kelas akselerasi diminta hadir untuk menerima hasil test psikologi dan ketetapan masuk tidaknya anak kami ke kelas akselerasi.
Ini kali kedua untuk peristiwa yang sama bagiku. Aku hadir di sekolah sebab anak kedua kami, anak tengah dalam keluarga kami mengikuti seleksi. Sebelumnya, si sulung pernah mengikuti test yang sama.
Tak banyak keraguan saat si sulung mengatakan ingin mendaftarkan diri untuk masuk kelas akselerasi. Anak perempuan sulung kami itu sangat ajeg, tahu apa yang dia mau, disiplin, dengan pemikiran yang jauh ke depan.
Nilai- nilai akademiknya cemerlang. Dia favorit guru- guru.
Hobbynya membaca. Saat kelas 3 SD dia sudah mulai membaca buku- buku yang ditulis oleh YB Mangunwijaya, Kuntowijoyo, Umar Kayam dan semacamnya. Dia manis dan tak banyak bergejolak. Tentu saja, mogok sekolah tak ada dalam kamusnya. Sekolah, adakalanya juga menyebalkan buat dia. Tapi kegigihan yang dimilikinya membantu dia untuk mengatasi semua.
Maka, dulu kami tak terlalu terkejut saat melihat hasil test psikologinya. Semua stabil. Kemampuan intelektual dan sosialnya seimbang. IQ-nya yang 141 jauh di atas rata- rata. Dia jelas calon potensial untuk masuk kelas akselerasi.
Tapi adiknya...
Adiknya, anak lelaki tengah kami itu membingungkan.
Sebenarnya, dari dia berusia sekitar dua tahun dan mulai banyak bicara, sudah kuidentifikasi bahwa anak kedua kami itu sangat cerdas. Dari cara bicaranya bisa kuukur kecerdasannya. Dugaanku, dia bahkan lebih cerdas dari kakaknya.
Gurauan anak kedua kami ini bisa membuat kami terpingkal- pingkal walau kuduga, belum tentu begitu jika anak kecil lain yang mendengarnya. Sebab, dia tidak bicara A. B, C, D.. Dia bisa saja mengatakan A, B lalu melompat ke T sebagai kesimpulan.